Kamis, 22 Mei 2025

BAB 12 SISTEM EKONOMI DI INDONESIA

 BAB 12 SISTEM EKONOMI DI INDONESIA


A. PENGERTIAN SISTEM EKONOMI ISLAM

Apabila memperhatikan Alquran dan Hadis, meskipun ajaran Islam mengakui motif atau prinsip mencari keuntungan tetapi Islam mangikat motif atau prinsip itu dengan syaratsyarat moral, sosial, dan temperance (pembatasan diri). Oleh karena itu, apabila ajaran itu dilaksanakan, pemakaian motif keuntungan oleh seorang individu tentu tidak akan membawa kepada individualisme yang ekstrem, yang hanya ingat akan kepentingan diri sendiri tanpa mempedulikan pihak lain. Sistem ekonomi Islam, dengan demikian, merupakan suatu imbangan yang harmonis antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.  Menurut suatu hadis yang berasal dari Ibn Abbas r.a. diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rasulullah saw. bersabda kepada Muadz yang diutus ke negeri Yaman untuk mengajarkan Islam: Sahabat Muadz diutus oleh Rasulullah saw. ke Yaman. Rasulullah saw. bersabda:  “Dakwahkanlah mereka kepada ‘syahadat’ bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya saya (Muhammad saw.) Rasulullah. Kalau mereka (orang Yaman) mentaati syahadat, maka beritahukanlah mereka bahwa sesungguhnya Allah Swt. mewajibkan salat lima waktu setiap hari. Kalau mereka (orang Yaman) mentaati (salat) ajarkanlah bahwa sesungguhnya Allah memerintahkan membayarkan sedekah (zakat) pada harta mereka diambil dari yang kaya di antara mereka dan diberikan kepada mereka yang miskin. Jika mereka mematuhi yang demikian dan juga engkau, (maka jagalah) supaya yang dibayarkan sebagai zakat itu yang paling baik dari harta mereka. Takutlah doa si teraniaya, sebab doa mereka itu dan Allah, tidak ada penghalang” (H.R. Al-Bukhari).  Hadis di atas menegaskan bahwa manusia boleh berusaha dan menikmati hasil usahanya, tetapi pada saat yang sama, ia harus ingat dan memberikan sebagian dari hartanya kepada mereka yang tidak mampu. Harta yang diberikannya pun harus diperhatikan, yaitu sesuatu yang baik dan berharga. Dalam hadis yang lain Hakim bin Hizam r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda:  Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini hijau sedap dipandang mata lagi manis. Barangsiapa mengambilnya dengan perasaan tidak loba, Allah akan memberkatinya; dan siapa yang mengambilnya dengan rasa loba dan tamak, tidak akan didapatinya pada hari itu keberkatan, seperti orang makan tidak merasa kenyang. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah (H.R. Al-Bukhari).  Hadis di atas menegaskan tentang ketamakan dan kerakusan yang menjadi penyakit manusia. Ia selalu ingin mendapatkan jauh lebih banyak dari apa yang dapat dimakan oleh perut dan dipakai oleh badan. Padahal justru kerakusan itulah yang akan membinasakan jiwa dan masyarakat. Dari dalil di atas, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi Islam baik pada tataran normatif maupun aplikasinya, didasarkan pada Alquran dan Sunnah, dalam rangka menjamin terwujudnya kesejahteraan bersama.   

B. Dasar Filosofis Ekonomi Islam  

-Pilar pertama, tauhid. Tauhid merupakan fondasi utama seluruh ajaran Islam, juga merupakan filsafat fundamental dari ekonomi Islam (Q.S al-Zumar, 39: 38). Hakikat tauhid juga dapat berarti penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi, yang mendorong seluruh aktivitas kehidupan manusia berada dalam kerangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai kehendak Allah.   

-Pilar kedua, mashlahah. Penempatan prinsip ini diurutan kedua karena mashlahah merupakan konsep yang paling penting dalam syariah, sesudah tauhid. Mashlahah merupakan tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu sendiri. Secara umum, maslahah diartikan sebagai kebaikan dunia dan akhirat. Para ahli ushul fikih mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang mengandung manfaat, kegunaan, kebaikan, dan menghindarkan mudharat, kerusakan dan mafsadah. Maslahah merupakan upaya mewujudkan dan memelihara lima kebutuhan dasar, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.  

-Pilar ketiga, adil. Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh Alquran sebagai misi utama para Nabi yang diutus Allah (Q.S. Al-Hadid, 57: 25). Alquran secara eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan persaudaraan tersebut. Menurut Umar Chapra, sebuah masyarakat Islam yang ideal mesti mengaktualisasikan keadilan dan persaudaraan  secara bersamaan, karena keduanya merupakan dua sisi yang tak bisa dipisahkan. 

-Pilar keempat, khalifah. Dalam ajaran Islam, manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah (wakil Allah) di muka bumi (Q.S. al-Baqarah, 2: 30; al-An’am, 6: 165); Fathir, 35: 39). 

-Pilar kelima, persaudaraan (ukhuwah). Alquran mengajarkan persaudaraan sesama manusia, termasuk dan terutama ukhuwah dalam perekonomian. Alquran mengatakan: ”Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” (Q.S. al-Hujurat, 49: 13); ”Kami menjadikan kamu dari diri yang satu” (Q.S. al-Nisa, 4: 1). 

-Pilar keenam, kerja dan produktifitas. Islam memang menganggap bahwa bekerja merupakan ibadah. Sebuah hadis menyebutkan bahwa bekerja merupakan jihad fi sabilillah. Karena semua hal milik Allah (Q.S. Al-Nur,  24: 33) maka manusia dianggap sebagai memegang hak milik relatif, artinya manusia hanyalah sebagai penerima titipan, trustee (pemegang amanat) yang harus mempertanggungjawabkannya kepada Allah. Jadi, menurut ekonomi Islam, penguasaan manusia terhadap sumberdaya, faktor produksi atau asset produktif hanyalah bersifat titipan dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan.  

-Pilar ketujuh, kepemilikan. Konsep kepemilikan pribadi atas dasar sebagai amanat dari Tuhan ini membawa sejumlah implikasi yang sangat penting yang membawa perbedaan revolusioner dengan sistem ekonomi lain seperti kapitalisme dan sosialisme. Pertama, bahwa sumber daya diperuntukkan bagi semua orang, bukan untuk sebagian kecil manusia (Q.S. alBaqarah, 2: 29 ). 

-Pilar kedelapan, kebebasan dan tanggung jawab. Prinsip kebebasan dan tanggung jawab dalam ekonomi Islam pertama kali dirumuskan oleh An-Naqvi. Kedua prinsip tersebut, masing-masing dapat berdiri sendiri, tetapi oleh beliau kedua prinsip tersebut digabungkan menjadi satu.

-Pilar kesembilan, jaminan sosial. Islam mendorong agar praktik ekonomi dapat memberikan jaminan sosial pada kaum tidak berdaya. Kewajiban zakat, infaq, shadaqah, dan sejenisnya menunjukkan ideal moral tersebut. Karena itu pelaku ekonomi secara individu menjadikan pengeluaran untuk infaq shadaqah dan zakat sebagai orientasi atau motif bekerjanya, sebagaimana juga negara diwajibkan memberikan jaminan sosial pada  kaum tak berdaya ini.   

-Pilar kesepuluh, nubuwwah. Prinsip nubuwwah dalam ekonomi Islam merupakan landasan etis dalam ekonomi mikro. Konsep nubuwwah mengajarkan bahwa fungsi kehadiran seorang Nabi untuk menjelaskan syariah Allah Swt. kepada umat manusia. Konsep nubuwwah juga mengajarkan bahwa Nabi merupakan personifikasi kehidupan yang yang baik dan benar.  

C. Kaidah Umum Ekonomi Islam  

1. Kepemilikan (property). 

Dari segi kepemilikan, bahwa Allahlah yang merupakan pemilik segala kekayaan. Allah menyatakan dalam Alquran surat an-Nur (24) ayat 33: “dan berikanlah kepada mereka, harta dari Allah yang telah Dia berikan kepada kalian”. Oleh karena itu, kakayaan adalah milik Allah semata. Namun demikian, Allah telah menyerahkan kekayaan tersebut kepada manusia untuk diatur sedemikian rupa.  Dalam surat al-Hadid (57) ayat 7 dinyatakan: “dan nafkahkanlah apa saja yang telah kalian dijadikan (oleh Allah) berkuasa terhadapnya”; demikian juga dalam surat Nuh (71) ayat 12: “dan (Allah) membanyakkan harta dan anak-anakmu”. Dalam pemilikan ini, terdapat kepemilikan individu (private property), sehingga setiap orang bisa memiliki kekayaan dengan sebab-sebab atau cara-cara kepemilikan tertentu. Seperti telah diriwayatkan oleh Abu Daud dari Samurah bahwa Nabi saw. bersabda: “dan siapa saja yang memagari sebidang tanah, maka tanah tersebut adalah menjadi haknya”.

2. Pengelolaan kepemilikan. 

Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum itu merupakan hak negara, karena negara sebagai wakil dari umat. Ditegaskan oleh an-Nabhani bahwa syara telah melarang negara untuk mengeola kepemilikan umum dengan cara barter (mubadalah) atau dikapling untuk orang tertentu. Pengelolaan kepemilikan oleh negara harus berpijak pada hukum-hukum yang diperbolehkan oleh syara. Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan negara dan kepemilikan oleh individu sudah dijelaskan dalam hukum-hukum muamalah, seperti jual-beli atau perdagangan, koperasi, penggadaian, persewaan, perseroan (syirkah), asuransi, dan sebaginya. 

3. Distribusi kekayaan. 

Adapun tentang cara distribusi kekayaan kepada individu, dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan serta transaksi transaksi yang wajar. Hanya saja, perbedaan individu dalam masalah kemampuan dan kebutuhan akan suatu pemenuhan, bisa juga menyebabkan perbedaan distribusi kekayaan tersebut di antara mereka. Oleh karena itu, syara melarang perputaran kakayaan hanya di antara orang-orang kaya, dan mewajibkan perputaran tersebut terjadi di antara semua orang secara berimbang. Dalam Alquran surat al-Hasyr (59) ayat 7 Allah Swt. berfirman: “supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”.  

D. Pengertian Politik Ekonomi Islam  

Politik ekonomi yakni tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum yang dipergunakan untuk memecahkan mekanisme mengatur urusan manusia. Sedangkan politik ekonomi Islam yakni jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (basic needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya.  Dalam hal ini, politik ekonomi Islam merupakan pemecahan masalah utama yang dihadapi setiap orang, yaitu sebagai manusia yang hidup sesuai dengan interaksi tertentu serta memungkinkan orang yang bersangkutan untuk meningkatkan taraf hidupnya, dan mengupayakan kemakmuran dirinya dalam pola hidup tertentu. Oleh karena itu, ketika mensyariatkan hukum-hukum ekonomi kepada manusia, Islam telah mensyariatkan hukum-hukum itu kepada pribadi. Sedangkan pada saat mengupayakan terjamin-tidaknya hak hidup serta tercapai-tidaknya suatu kemakmuran, Islam telah menjadikan semuanya harus direalisasikan dalam sebuah masyarakat yang memiliki pola hidup tertentu. Islam, dengan demikian, memperhatikan segala hal yang menjadi tuntutan masyarakat sebagai asas dalam memandang kehidupan dan kemakmuran.  

 E. Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia 

Secara politik ekonomi Islam, ada sejumlah alasan yang mengharuskan pemerintah Indonesia melakukan intervensi terhadap pengembangan ekonomi Islam, yaitu: 

(1) Industri keuangan syariah memiliki dampak yang positif bagi stabilitas perekonomian makro Indonesia, 

(2) Industri keuangan syariah memiliki ketahanan atau resistensi yang cukup tinggi terhadap goncangan krisis keuangan, 

(3) Diperlukannya peran aktif pemerintah sebagai regulator dan supervisor sehingga tercipta efisiensi, transparansi dan berkeadilan, 

(4) Ekonomi Islam dapat berperan sebagai penyelamat bila terjadi ketidakpastian usaha atau perekonomian, dan 

(5) Dalam teori maupun realitasnya, industri keuangan syariah membutuhkan infrastruktur yang mendukung perkembangannya. 

Dalam koridor itulah, politik ekonomi Islam pemerintah Indonesia telah mengundangkan beberapa Undang Undang, yang dapat dipaparkan sebagai berikut. 

Pertama, UU Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). UU Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) disahkan pada 7 Mei 2008. Lahirnya UU SBSN memberikan harapan di tengah APBN yang selalu defisit untuk bisa mendorong tersedianya sumber keuangan alternatif bagi negara.

Kedua, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pada 17 Juni 2008 telah diundangkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Lahirnya UU Perbankan Syariah menandai era baru perbankan Syariah berpayung hukum jelas.  

Ketiga, Pemerintah yang diwakili BUMN mendirikan Bank Syariah. Bukti nyata nyata dari politik ekonomi Islam yang diperankan pemerintah dalam sektor industri perbankan Syariah yakni berdirinya Bank Syariah Mandiri (BSM) yang modal inti terbesarnya dari Bank Mandiri yang nota bene merupakan bank BUMN.

Keempat, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-Undang no. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004, ditambah Kepmen Nomor 04 Tahun 2009 tentang Administrasi Wakaf Uang. 

Kelima, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). MUI sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam bidang keagamaan yang berhubungan dengan kepentingan umat Islam Indonesia membentuk suatu dewan syariah yang berskala nasional yang bernama Dewan Syariah Nasional (DSN), berdiri pada tanggal 10 Februari 1999 sesuai dengan Surat Keputusan (SK) MUI No. kep 754/MUI/II/1999. Lembaga DSN MUI ini merupakan lembaga yang memiliki otoritas kuat dalam penentuan dan penjagaan penerapan prinsip Syariah dalam operasional di lembaga keuangan Syariah, baik perbankan Syariah, asuransi Syariah dan lain-lain.   

Keenam, UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat. Diundangkannya UU Zakat menunjukkan politik ekonomi Islam dalam ranah keuangan publik pemerintah RI cukup akomodatif terhadap kebutuhan umat Islam untuk melaksanakan rukun Islam yang ke-3

Ketujuh, UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Diundangkannya Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah memberikan arah baru bagi kompetensi Peradilan Agama. 

Kedelapan, KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah). Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang dikoordinir oleh Mahkamah Agung (MA) RI yang kemudian dilegalkan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) 02 Tahun 2008 merupakan respon terhadap perkembangan baru dalam kajian dan praktik ekonomi Islam di Indonesia.

Kesembilan, Gerakan Wakaf Tunai. Gerakan nasional wakaf tunai dimotori oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara Jakarta pada 8 Januari 2010, pengelolaannya diserahkan ke Badan Wakaf Indonesia (BWI). BWI sudah membuat aturan tentang wakaf uang sehingga pengumpulan, penggunaannya dan pertanggungjawabannya dapat transparan serta akan diaudit oleh auditor independen.

Kesepuluh, Dikeluarkannya PP Nomor 39 Tahun 2008 Asuransi syariah tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Walaupun pemerintah belum mengundangkan secara khusus tentang asuransi Syariah, akan tetapi hadirnya PP Nomor 39 tersebut menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan industri asuransi Syariah sebagai bagian politik ekonomi Islamnya. 

Kesebelas, didirikannya Direktorat pembiayaan Syariah di DEPKEU. Direktorat Pembiayaan Syariah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan RI merupakan direktorat yang melaksanakan amanah UU No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN,  sehingga lahirnya berbagai jenis sukuk negara, di antaranya sukuk ritel dan korporasi.  

Keduabelas, penyelenggaraan World Islamic Economic Forum (WIEF) di Indonesia. World Islamic Economic Forum (WIEF) atau Forum Ekonomi Negara-Negara Islam ke-5 yang diselenggarakan di Indonesia, pada 2-3 Maret 2009, dengan didukung penuh oleh pemerintah merupakan suatu bukti dukungan dan political will pemerintah terhadap pengembangan ekonomi Islam. World Islamic Economic Forum ke-5 tersebut berkontribusi sebagai salah satu upaya menemukan solusi mengatasi dampak krisis keuangan global dengan pendekatan ekonomi Islam.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAB 15 ISLAM DAN WAWASAN KEINDONESIAAN

 BAB 15 ISLAM DAN WAWASAN KEINDONESIAAN A. ISLAM DAN KEINDONESIAAN -Memahami Istilah Islam Nusantara       Makna kata “nusantara”. Nusantara...