Sabtu, 31 Mei 2025

BAB 15 ISLAM DAN WAWASAN KEINDONESIAAN

 BAB 15 ISLAM DAN WAWASAN KEINDONESIAAN


A. ISLAM DAN KEINDONESIAAN

-Memahami Istilah Islam Nusantara 

    Makna kata “nusantara”. Nusantara adalah istilah yang menggambarkan wilayah kepulauan dari Sumatera hingga Papua. Kata ini berasal dari manuskrip berbahasa Jawa sekitar abad ke-12 Masehi sampai ke-16 Masehi sebagai konsep Negara Majapahit. Sementara dalam literatur berbahasa Inggris abad ke-19 Masehi, Nusantara merujuk pada kepulauan Melayu. Ki Hajar Dewantoro, memakai istilah ini pada abad 20-an sebagai salah satu rekomendasi untuk nama suatu wilayah Hindia Belanda. Karena kepulauan tersebut mayoritas berada di wilayah negara Indonesia, maka Nusantara biasanya disinonimkan dengan Indonesia. Istilah ini kemudian secara konstitusional dikukuhkan dengan Ketatapan MPR No. IV/MPR/1973, tentang Garis Besar Haluan Negara Bab II Sub E (Luthfi, 2016:3). Pengakuan akan adanya Islam Nusantara sekarang ini memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengelolaan bangsa dan negara Indonesia yang sarat dengan keberagaman. Hal ini dapat dilihar dari jumlah penduduk Indonesia yang sekarang ini (2018) lebih dari 250 juta, atau tepatnya 270.054.853 (BPS, 2018). Keberagaman ini juga dilihat dari jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia, yakni 714 suku bangsa, 500-an bahasa, ribuan tradisi budaya, serta 6 agama resmi dan ratusan aliran kepercayaan. Islam Nusantara mampu memposisikan diri sebagai kekuatan yang mampu mengintegrasikan dan mempertahankan keutuhan bangsa Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika.  Islam Nusantara sebenarnya merupakan sebuah identitas Islam dengan berbagai nilainya yang diimplementasikan di bumi Nusantara yang telah lama mengakar dan dipraktikkan oleh rakyat Indonesa dalam kurun waktu yang sangat lama. Salah satu ciri Islam Nusantara yaitu kesantunan dan kesopanan dalam beragama dan penyebaran agama di tengah-tengah masyarakat. Agama Islam disebarkan oleh para ulama yang memiliki wawasan keislaman yang mendalam sekaligus wawasan kebangsaan yang benar, sehingga Islam yang diajarkan adalah Islam yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.  Islam Nusantara mengedepankan ajaran-ajaran Islam yang moderat yang penuh dengan nilai-nilai toleransi. Islam Nusantara adalah Islam yang hidup dalam keragaman, Islam yang menjunjung tinggi hak-hak perempuan, hak asasi manusia, dan hak bagi pemeluk agama selain Islam. Islam Nusantara dapat menjadi model bagi bangsa lain untuk mengambil nilai-nilai positif di wilayahnya masing-masing (Salim, 2018: iii).  

    Karakter dan budaya keindonesiaan. Kekhasan Islam Nusantara seperti ini menjadikan Islam mudah dipahami dan dapat diterima oleh masyarakat Indonesia secara masif. Prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (tenggang rasa) dengan tidak mengeliminasi kultur dan fakta sosial keindonesiaan menjadikan Islam Nusantara tampil dengan wajah yang damai, santun, dan toleran.

-Keragaman Negara Indonesia 

    Bumi Indonesia adalah hamparan tanah, pasir, bebatuan, air yang berbentuk dataran, perbukitan, lembah, pegunungan, baik itu di darat maupun di laut. Posisi bumi Indonesia berada di antara daratan benua Asia dan Australia serta di antara lautan Samudra Pasifik dan Hindia. Bumi Indonesia berbatasan darat langsung dengan Malaysia di pulau Kalimantan, Papua Nugini di pulau Papua, dan Timor Leste di pulau Timor. Bumi Indonesia juga berbatasan laut langsung dengan India, Singapura, Filipina, dan Austalia. Di atas sudah dijelaskan beberapa bukti kekayaan dan keberagaman Indonesia yang tentu masih bisa diungkap yang lebih dari data tersebut.  Indonesia memiliki sejarah panjang sejak abad ke-4 Masehi sampai abad ke-21 ini. Penduduk Indonesia telah berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain melalui perdagangan international. Berdirinya kerajaan Sriwijaya di Palembang pada abad ke-7 Masehi sekaligus menandai kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting pada zaman itu. Kerajaan Sriwijaya tercatat pernah menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan bangsa Tiongkok, India, dan Arab. Kerajaan Hindu/Buddha mulai tumbuh awal abad ke-4 Masehi sampai dengan abad ke-13 Masehi di kepulauan Nusantara dengan transaksi perdagangan yang saling menguntungkan di antara bangsa-bangsa dunia. Pada abad ke-8 Masehi sampai dengan abad ke-16 Masehi berdatanganlah para pedagang muslim dan para ulama muslim dari gurun Arabia untuk berdagang di wilayah kerajaan Hindu/Buddha yang telah ada di kepulauan Nusantara. Pada abad ke-15 Masehi sampai dengan abad ke-20 Masehi berdatangan pula para pedagang Eropa untuk berdagang dan berburu rempah-rempah Maluku pada masa penjelajahan samudera. Dinamika perdagangan bangsa-bangsa tersebut saling mempengaruhi cara berpikir, bertindak, bahkan beragama di antara masing-masing pedagang serta penduduk lokal yang menjadi konsumen dan/atau produsen barang dan jasa pada zamannya. Buah dari interaksi perdagangan tersebut yaitu kesadaran tentang identitas kebangsaan Indonesia yang berbeda dari para pendatang Eropa, India, atau Arab. 

-Hubungan Antara Islam dan Indonesia 

    Hubungan antara Islam dan Indonesia dapat dipahami sejak masuknya Islam di Nusantara yang kemudian bernama Indonesia. Sejarah Islam di Nusantara mengalami perkembangan seiring dengan sejarah perkembangan Islam di berbagai wilayah di Nusantara. Perkembangan Islam di Nusantara lebih terlihat lagi sejak berdirinya kerajaankerajaan Islam di Nusantara yang dimulai dari Kerajaan Samudera Pasai di Pulau Sumatera. Selanjutnya kerajaan-kerajaan Islam tumbuh dan berkembang di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya di wilayah Nusantara. Sejaran panjang tumbuh dan berkembangnya Islam dalam bingkai kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara menggambarkan hubungan yang begitu kuat antara Islam dan Indonesia. Cukup banyak sejarawan dan para ahli yang menulis sejarah dan historiografi Islam di Nusantara dengan berbagai variasinya. Di antara mereka yaitu Tun Seri Lanang, Raja Ali Haji, Rosenthal, Hamka, Tengku Said, dan Hoesein Djajadiningrat (Multazam, 2018:121-125). Dari catatan mereka tentang sejarah Islam di Indonesia dapat dipahami bahwa Islam di Indonesia memiliki kekhasan dibandingkan dengan Islam di negara-negara lain, terutama negaranegara di semenanjung Arabia. Tidak bisa dipungkiri bahwa Islam yang berasal dari Arab tampil agak berbeda di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari dalam berinteraksi sosial, bahkan dalam hal-hal yang bernuansa ritual keislaman.

     Dengan demikian, tampilnya Islam di Indonesia seperti sekarang yang “berbeda” dengan Islam di negeri asalnya (Arab) mengindikasikan begitu eratnya hubungan Islam dengan Indonesia yang diwarnai oleh nilainilai keindonesiaan yang sopan, toleran, dan harmonis. Hubungan kedekatan dan keeratan antara Islam dan Indonesia dapat dilihat dalam berbagai kajian. Islam masuk ke Indonesia dengana tujuan mengislamkan masyarakat Indonesia. Islam dengan nilai-nilainya yang universal mempengaruhi masyarakat Indonesia dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari. Dalam hubungan ini, budaya yang dibawa Islam untuk memengaruhi Nusantara berupa sistem nilai substantif atau universal, teologi, dan ritual ibadah yang sifatnya pasti. Sementara budaya Islam yang bersifat fisik — dalam pengertian sosiologis — seperti cara berpakaian, berjilbab, dan nada membaca Alquran (langgam) dianggap sebagai budaya Arab yang tidak perlu dibawa ke Nusantara. Islam memiliki budaya fisik-sosiologis yang memiliki karakteristik ke-Arab-an yang dapat digabung dengan budaya lokal, sehingga memunculkan budaya baru. Misalnya, lembaga pendidikan pesantren dan tulisan pegon (gabungan dari budaya tulisan Arab dengan bahasa Nusantara).

B. ISLAM DEMOKRASI PANCASILA, DAN WAWASAN KEINDONESIAAN

Pancasila Pemersatu Bangsa dan Menyatukan Perbedaan Perumusan dasar negara merupakan hasil dinamika berpikir para pendiri bangsa yang melihat perbedaan sebagai rahmat yang harus dikelola dengan adil supaya tidak jadi bencana. Ada lebih kurang sebelas versi rumusan Pancasila sejak pertama dicetuskan sampai bentuk final yang disepakati bersama. 

Rumusan pertama disampaikan secara lisan dan tulisan oleh Mr. Muhammad Yamin pada sidang BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei – 1 Juni 1945. Isi dasar negara itu meliputi kebangsaan, kemanusiaan, ketuhanan, kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat (Bahar, 1992). 

Rumusan kedua disampaikan oleh Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945. Isi dasar negara meliputi persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir dan batin, musyawarah, dan keadilan rakyat. Rumusan ketiga disampaikan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Isi dasar negara meliputi nasionalisme, perikemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan.

 Rumusan keempat disusun oleh Panitia Sembilan untuk menyelaraskan hubungan antara negara dan agama serta hasil kesepakatan tersebut lebih popular dengan sebutan “Piagam Jakarta”. Isi dasar negara meliputi ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakayatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Rumusan kelima hasil kesepakatan rapat pleno BPUPKI pada tanggal 14 Juli 1945 yang membahas dan merevisi Piagam Jakarta menjadi dasar negara atas dasar ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 Revisinya hanya menghilangkan kata “serta” pada kalimat terakhir Piagam Jakarta. Rumusan keenam adalah hasil musyawarah PPKI yang bersidang pada tanggal 18 Agustus 1945. Kesepakatan yang pokok yaitu penggantian kata “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai win-win solution atas keberatan dari perwakilan Indonesia bagian timur untuk mencantumkan kata tersebut dalam dasar negara. Kebesaran jiwa para tokoh muslim seperti Mohammad Hasan, Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadi Kusumo, dan Mohammad Hatta untuk mencoret tujuh kata pada sila ketuhanan dan menggantinya dengan “Yang Maha Esa” merupakan ijtihad politik untuk menyatukan perbedaan dalam satu bumi Indonesia. Rumusan ketujuh sampai dengan kesebelas tidak ada perbedaan yang berarti dengan rumusan keenam, kecuali pernik-pernik kecil rumusan Pancasila dalam kalimat singkat atau kalimat lengkap. 

-Makna Islam dan Nilai Pancasila

    Islam berasal dari kata dasar “salima” (salima-yaslamu-salam) yang berarti damai. Dari kata dasar itu kemudian muncul kata “aslama” (aslama-yuslimu-islaman) yang berarti mendamaikan, menyejahterakan, tunduk, atau patuh (Munawwir, 1997). Islam sebagai ajaran Tuhan adalah sikap, gagasan, dan perbuatan tunduk patuh pada kehendak Allah secara suka rela. Indikator keislaman ialah memberi manfaat bagi orang lain, sekecil apa pun. Nilai-nilai Pancasila meliputi ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Nilai ketuhanan dapat dimaknai ketaatan pada ajaran agama masing-masing yang ada dan dianut bangsa Indonesia. Seorang muslim mengamalkan nilai ketuhanan dengan cara mengamalkan ajaran keislamanannya dalam kehidupan sehari-hari, demikian juga dengan warga negara Indoneisa yang beragama Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Berdasarkan indikator keislaman dari hadis Nabi di atas, juga seorang muslim pasti prokemanusiaan, mengutamakan perdamaian, mendahulukan musyawarah dalam menyelesaikan perselisihan, dan berlaku adil terhadap siapa pun. Mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang bersumber dari ajaran Islam merupakan bentuk ketaatan kepada Tuhan. Nilai-nilai Pancasila yang bersumber dari ajaran Islam di antaranya kejujuran dalam berkata dan bertindak, disiplin dalam mencapai tujuan, bertanggung jawab atas kontrak pekerjaan yang diberikan pihak lain, santun terhadap sesama, peduli pada penderitaan orang lain, dan percaya diri dalam memilih jalan menuju tujuan yang dicita-citakan. 

Jujur sama dengan kata “sidq” dalam bahasa Arab. Ada dua dimensi kejujuran dalam konteks kebahasaan, yaitu kejujuran yang bersifat objektif dan kejujuran yang bersifat subjektif (Izutsu, 1993:107, 116-122). 

Disiplin adalah kemampuan seseorang untuk mengurus dirinya sendiri tanpa paksaan orang lain (Suseno, 1991:117; Mill, 1996:110-115). Ada tiga cara menanamkan kedisiplinan menurut Franz Magnis-Suseno (1993: 37-39), yaitu melalui paksaan atau ancaman fisik, melalui tekanan psikis, dan melalui pewajiban atau pelarangan. Paksaan fisik atau tekanan psikis hanya cocok untuk mendisiplinkan hewan, sedangkan untuk mendisiplinkan manusia hanya cocok melalui pewajiban dan pelarangan. 

Tanggung jawab adalah kemampuan seseorang untuk memberikan penjelasan atas perbuatan yang telah dilakukan atau pernyataan yang telah diucapkannya (Suseno, 1993:4041). Ada tiga istilah kunci yang erat sekali dengan tanggung jawab, yaitu kewajiban, kemungkinan digugat, dan penghargaan atau hukuman (Bagus, 1996:1066-1067). 

Santun adalah perbuatan hormat dalam bentuk perkataan atau perbuatan atau bahasa tubuh/isyarat kepada orang tua, kerabat dekat, guru, teman sebaya, anak yatim dan orang yang membutuhkan bantuan (Izutsu, 1993:246). Penghormatan kepada orang lain dalam bentuk perkataan meliputi ucapan terima kasih jika diberi sesuatu oleh orang lain, menyatakan pujian terhadap karya orang lain, memohon maaf jika melakukan kekeliruan yang merugikan orang lain, dan bertegur sapa dengan orang yang dikenal maupun orang asing. 

Peduli adalah perbuatan yang menunjukkan penghargaan kepada kualitas seseorang atau sesuatu (Lickona, 1991:43). Perbuatan peduli berlandaskan aturan emas “siapa yang menolong orang lain sama dengan menolong dirinya sendiri” atau dalam rumusan lain “bertindaklah kepada orang lain seperti kamu menghendaki mereka bertindak demikian kepadamu” (Feldman, 1985:237; Schopenhauer, 1997:190). Kepedulian dapat juga diartikan seseorang merasa senasib sepenanggungan dengan orang lain, sehingga tidak ada seorang pun yang menderita atau dijadikan korban untuk keberadaan orang lain (Suseno, 1991:118119).  

Jumat, 30 Mei 2025

BAB 14 GLOBALISASI DALAM ISLAM

 BAB 14  GLOBALISASI DALAM ISLAM


A. PENGERTIAN GLOBALISASI

    Globalisasi etimologis berasal dari kata "global" yang berarti mendunia, dan "sasi" yang berarti proses, sehingga dapat dipahami sebagai proses perubahan yang menggabungkan elemen-elemen terpisah menjadi satu kesatuan. Secara konsep, globalisasi menghubungkan individu dan negara, menghilangkan isolasi diri. Faktor utama yang mempercepat globalisasi adalah perkembangan zaman, teknologi, dan komunikasi. Globalisasi mempererat hubungan antarnegara, mempercepat pertukaran informasi, dan menghapus batas ruang serta waktu. Dalam era modern, globalisasi terlihat jelas melalui media komunikasi seperti televisi, telepon, dan internet, memengaruhi hampir semua sektor kehidupan, seperti teknologi, pendidikan, ekonomi, agama, dan budaya

B. GLOBALISASI PERSPESITIF ISLAM

1. Globalisasi dan Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Perkembangan pada iptek dalam islam, hal pertama yang dapat dilakukan yaitu evaluasi dan refleksi terhadap faktor-faktor yang menjadi kemunduran iptek dalam islam, beberapa faktor yang mempengaruhi kemunduran IPTEK, antara lain: Jauh dari moral pengetahuan dan ajaran Islam berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi.

-Pentingnya menghilangkan pertentangan ideologis dan politik antarbangsa.

-Mengembangkan tradisi berpikir yang bebas dan independen untuk mendorong pencarian ilmu

pengetahuan. 

-Membangun sistem pendidikan yang mengutamakan pengetahuan dan kemanusiaan.

Islam juga mendorong umatnya untuk melakukan penelitian dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman ilmu. Umat Muslim diharuskan memiliki sifat-sifat ilmuwan, seperti kritis, terbuka terhadap kebenaran, dan menggunakan akal untuk berpikir. Dengan demikian, umat Muslim diharapkan unggul dalam IPTEK, yang menjadi sarana untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

2. Globalisasi Sebagai Peluang Maupun Tantangan Dalam Berbagai Aspek Kehidupan

Globalisasi adalah suatu fenomena yang melibatkan peningkatan integrasi dan keterhubungan antar negara dan masyarakat melalui berbagai aspek, termasuk ekonomi, budaya, teknologi, dan politik. Globalisasi dapat memberikan peluang besar, tetapi juga membawa tantangan besar bagi masyarakat di seluruh dunia, termasuk umat Islam


PELUANG DAN TANTANGAN GLOBLASASI

PELUANG:

1. Penyebaran Ajaran Islam Melalui Teknologi

Media Sosial dan Internet, melalui teknologi digital dapat memfasilitasi penyebaran informasi tentang Islam secara luas, memungkinkan organisasi dan individu Muslim mendidik dan membangun komunitas global yang lebih terhubung.Edukasi dan Dialog Interkultural, melalui platform online seperti kursus, webinar, dan forum diskusi, umat Islam dapat berpartisipasi dalam dialog interkultural dan pendidikan global, mempromosikan pemahaman yang lebih baik tentang Islam dan menjembatani kesenjangan budaya

2. Kontribusi Dalam Ekonomi Global

Perbankan Syariah, berprinsip paada menghindari riba dan fokus pada pembiayaan yang sesaui dengan prinsip prinsip syariaah yang telah berkembang. Industri Halal, telah berkembang menjadi sektor ekonomi global yang signifikan, dengan permintaan yang meningkat seiring pertumbuhan populasi Muslim, membuka peluang bisnis baru dan inovasi dalam industri makanan, kosmetik, dan layanan.

TANTANGAN:

1. Tantangan sains dan Teknologi

Umat Islam, meskipun dianggap umat terbaik, saat ini sedang mengalami kemunduran, kemiskinan, dan tertinggal dalam ilmu pengetahuan serta teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi sangat penting dalam kehidupan modern, memberikan kemudahan di berbagai bidang seperti transportasi, komunikasi, konsumsi, dan pendidikan. Namun, kemajuan ini juga membawa dampak negatif seperti persaingan yang ketat dan gaya hidup materialistis. Negara-negara maju memanfaatkan negara berkembang untuk mendapatkan energi dan bahan mentah dengan harga murah. Oleh karena itu, negara berkembang seperti Indonesia perlu menguasai sains dan teknologi serta mengembangkan kemitraan yang saling menguntungkan untuk mengurangi ketergantungan pada negara maju.

2. Tantangan sosio-ekonomi

Setiap hari sekarang kita menghadapi dunia yang penuh dengan tantangan dan peluang dunia dewasa ini telah mengalami perubahan terutama perubahan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi; Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dampaknya dalam masalah ekonomi akan terasa.terutama dalam bidang perdagangan dan investasi. Akibatnya negara-negara berkembang kena imbasnya, seperti kemiskinan, kelangkaan pangan, keterbelakangan dan lain sebagainya.


C. LINGKUP GLOBALISASI DAN PERAN ISLAM


Penyebaran Islam Dalam LIngkup Globalisasi 

1. Penyebaran Nilai Universal 

Nilai Islam dapat diartikan sebagai sesuatu yang berguna dan bersifat menyempurnakan kehidupan manusia sesuai dengan hakekatnya, yang berasal dari ajaran ajaran agama islam. 

2. Peran Ekonomi Islam 

Prinsip ekonomi islam yang menekankan keadilan sosial, distribusi pendapatan yang lebih merata, larangan riba dan tanggung jawab lingkungan, sejalan dengan agenda pembangunan berkelanjutan  menjadikan ekonomi islam memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

3. Penguatan nilai nilai moral dan etika 

Islam menekankan pentingnya pembentukan karakter dan akhlak mulia melalui nilai-nilai moral seperti kejujuran, kesederhanaan, tanggung jawab, dan kepedulian sosial. Dalam konteks globalisasi, Islam berfungsi sebagai panduan moral yang menjaga kita tetap berada di jalur yang benar. 

4. Teknologi dan Ilmu Pengetahuan 

Islam mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama untuk menciptakan peradaban yang seimbang. Teknologi informasi memfasilitasi akses luas ke pendidikan Islam, meningkatkan pemahaman agama di kalangan kaum muda dan memperluas penyebaran ajaran Islam secara efektif.

5. Peran Dalam Sosial Budaya 

Islam berperan penting dalam menghadapi benturan budaya global. Dengan sifat adaptif dan pemahaman ajaran yang mendalam, umat Islam dapat menanggapi tantangan global dengan bijak dan moderat, serta menjaga integritas identitas keislaman mereka.

Bab 13 ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA

 

Bab 13 ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA 


A. Pengertian dan sejarah HAM
-Pengertian
HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan hak dasar yang dimiliki oleh manusia sejak dia dilahirkan. 
HAM didefinisikan sebagai hak yang mempunyai perlindungan secara internasional yang tertuang dalam Declaration of Human Right (Deklarasi PBB) seperti hak untuk hidup, hak
kemerdekaan, hak untuk memliki, serta hak untuk mengeluarkan pendapat. Keempat
komponen tersebut harus di lindungi oleh negara, disisi lain harus menyeimbangkan antara hak dan kewajiban.
HAM menurut Islam merupakan preskripsi yang dititahkah kepada
manusia yang diturunkan dari sumber-sumber yang ditafsirkan dari titah Ilahi yang meliputi
hak dan kewajiban. Pada dasarnya HAM pada dasarnya kewajiban manusia kepada Tuhan dan hak Tuhan kepada manusia

-Sejarah HAM
Sejarah HAM berkembangbertahap, menekankan martabat manusia dan keadilan. Pemikiran HAM muncul di Eropa Barat abad ke-17, terwujud dalam undang-undang seperti Bill of Rights dan Declarationdes droits de l'homme et du citoyen. Sebelumnya, Magna Charta (1215) membatasi hak politis. Pada abad ke-20, Franklin D. Roosevelt mencetuskan empat
kebebasan manusia akibat Perang Dunia. Setelah Perang Dunia II, PBB mendirikan Komisi Hak Asasi Manusia, menghasilkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948). PBB juga menghasilkan perjanjian dan deklarasi penting lainnya,seperti Kovenan Hak Sipil dan
Politik, Kovenan Internasional HakEkonomi, Sosial dan Budaya (1966), serta Deklarasi Wina (1993). Di Indonesia, penegakan HAM mengalami pasang surut. HAM di Indonesia bersumber dari Pancasila, mengakomodasi manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Perjuangan HAM dimulai sejak penjajahan Belanda dengan stratifikasi sosial. Di era reformasi, penegakan HAM digencarkan melalui amandemen UUD 1945 dan undang-undang lainnya.

B. HAM, RAKYAT DAN NEGARA
-Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat

1. Melindungi Martabat Manusia 

Yaitu HAM dapat menjamin bahwa setiap orang diperlakukan dengan adil dan bermartabat, tanpa diskriminasi berdasarkan ras, agama, jenis kelamin, atau status sosial.Contoh: Larangan terhadap penyiksaan, perbudakan, atau perlakuan tidak manusiawi.

2. Mendorong Kesetaraan dan Keadilan

HAM memastikan bahwa semua orang memiliki hak yang sama di depan hukum dan dalam kehidupan bermasyarakat. Contoh : Hak untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan pelayanan kesehatan yang setara.

3. Mencegah Kekerasan dan Pelanggaran

Dengan adanya HAM, masyarakat dan pemerintah memiliki kerangka hukum untuk mencegah pelanggaran seperti kekerasan, diskriminasi, atau eksploitasi. Contoh: Perlindungan terhadap kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, dan minoritas.

4. Mengatasi Ketimpangan Sosial

HAM membantu mengurangi kesenjangan sosial dengan menjamin akses yang adil terhadap sumber daya dan pelayanan publik. Contoh: Program afirmasi untuk kelompok marginal seperti masyarakat adat atau penyandang disabilitas.

5.Meningkatkan Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat

HAM mendorong masyarakat untuk lebih sadar akan hak dan kewajibannya, sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan dan pengambilan keputusan. Contoh: Kampanye kesadaran tentang hak-hak pekerja atau hak-hak perempuan.

-Hak Asasi Manusia dalam Negara

Hak Asasi Manusia (HAM) dalam negara memiliki peran penting dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. HAM merupakan hak dasar manusia yang harus dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara. 

Peran HAM dalam Negara:

•Menjamin, melindungi, meynghormati, dan membela HAM setiap warga negara dan penduduknya

•Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM

•Meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM

•Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban

•Menjaga keseimbangan antara manusia sebagai individu dan sosial

C. HAM dalam islam dan trasofrmasinya

-Hak Asasi Manusia dalam Islam:

Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Islam:

- Islam memiliki konsep HAM yang universal dan komprehensif

- Mencakup hak-hak dasar, sekunder, dan tersier

- Berdasarkan pada ajaran keimanan, aqidah, ibadah, dan muamalat

Konsep Hak dalam islam:

-Hak manusia (huquq al-insan al-dharuriyyah)

- Hak Allah (huquq Allah)

- Kedua jenis hak tersebut tidak bisa dipisahkan

Bentuk Hak Asasi dalam Islam: 

 Hak dasar (hak darury)

- Hak sekunder (hajy)

- Hak tersier (tahsiny)

-Hak Asasi Manusia dalam Transformasi:

-Pengertian Transformasi

Transformasi adalah proses perubahan yang signifikan dan mendalam dalam suatu sistem, institusi, atau masyarakat.

-HAM dalam Transformasi

Dalam transformasi, HAM menjadi sangat penting karena dapat membantu memastikan bahwa perubahan yang terjadi tidak melanggar hak-hak dasar manusia.

-HAM dalam Transformasi

- Menghormati hak-hak dasar manusia

- Menghindari diskriminasi dan ketidakadilan

- Memastikan partisipasi dan inklusi

- Menghormati kebebasan dan otonomi individu

- Menghindari kekerasan dan penindasan

-Contoh HAM dalam Transformasi dan Tantangan dalam Implementasi HAM dalam Implementasi HAM dalam Transformasi

contoh:

 -Reformasi politik dan hukum untuk memastikan hak-hak dasar manusia

- Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan adil

- Pengembangan pendidikan dan kesehatan yang memadai

- Perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam

Tantangan:

- Resistensi dari kelompok-kelompok yang berkuasa

- Keterbatasan sumber daya dan infrastruktur

- Kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat

- Konflik dan kekerasan yang dapat menghambat proses transformasi.


Kamis, 22 Mei 2025

BAB 12 SISTEM EKONOMI DI INDONESIA

 BAB 12 SISTEM EKONOMI DI INDONESIA


A. PENGERTIAN SISTEM EKONOMI ISLAM

Apabila memperhatikan Alquran dan Hadis, meskipun ajaran Islam mengakui motif atau prinsip mencari keuntungan tetapi Islam mangikat motif atau prinsip itu dengan syaratsyarat moral, sosial, dan temperance (pembatasan diri). Oleh karena itu, apabila ajaran itu dilaksanakan, pemakaian motif keuntungan oleh seorang individu tentu tidak akan membawa kepada individualisme yang ekstrem, yang hanya ingat akan kepentingan diri sendiri tanpa mempedulikan pihak lain. Sistem ekonomi Islam, dengan demikian, merupakan suatu imbangan yang harmonis antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.  Menurut suatu hadis yang berasal dari Ibn Abbas r.a. diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rasulullah saw. bersabda kepada Muadz yang diutus ke negeri Yaman untuk mengajarkan Islam: Sahabat Muadz diutus oleh Rasulullah saw. ke Yaman. Rasulullah saw. bersabda:  “Dakwahkanlah mereka kepada ‘syahadat’ bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya saya (Muhammad saw.) Rasulullah. Kalau mereka (orang Yaman) mentaati syahadat, maka beritahukanlah mereka bahwa sesungguhnya Allah Swt. mewajibkan salat lima waktu setiap hari. Kalau mereka (orang Yaman) mentaati (salat) ajarkanlah bahwa sesungguhnya Allah memerintahkan membayarkan sedekah (zakat) pada harta mereka diambil dari yang kaya di antara mereka dan diberikan kepada mereka yang miskin. Jika mereka mematuhi yang demikian dan juga engkau, (maka jagalah) supaya yang dibayarkan sebagai zakat itu yang paling baik dari harta mereka. Takutlah doa si teraniaya, sebab doa mereka itu dan Allah, tidak ada penghalang” (H.R. Al-Bukhari).  Hadis di atas menegaskan bahwa manusia boleh berusaha dan menikmati hasil usahanya, tetapi pada saat yang sama, ia harus ingat dan memberikan sebagian dari hartanya kepada mereka yang tidak mampu. Harta yang diberikannya pun harus diperhatikan, yaitu sesuatu yang baik dan berharga. Dalam hadis yang lain Hakim bin Hizam r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda:  Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini hijau sedap dipandang mata lagi manis. Barangsiapa mengambilnya dengan perasaan tidak loba, Allah akan memberkatinya; dan siapa yang mengambilnya dengan rasa loba dan tamak, tidak akan didapatinya pada hari itu keberkatan, seperti orang makan tidak merasa kenyang. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah (H.R. Al-Bukhari).  Hadis di atas menegaskan tentang ketamakan dan kerakusan yang menjadi penyakit manusia. Ia selalu ingin mendapatkan jauh lebih banyak dari apa yang dapat dimakan oleh perut dan dipakai oleh badan. Padahal justru kerakusan itulah yang akan membinasakan jiwa dan masyarakat. Dari dalil di atas, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi Islam baik pada tataran normatif maupun aplikasinya, didasarkan pada Alquran dan Sunnah, dalam rangka menjamin terwujudnya kesejahteraan bersama.   

B. Dasar Filosofis Ekonomi Islam  

-Pilar pertama, tauhid. Tauhid merupakan fondasi utama seluruh ajaran Islam, juga merupakan filsafat fundamental dari ekonomi Islam (Q.S al-Zumar, 39: 38). Hakikat tauhid juga dapat berarti penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi, yang mendorong seluruh aktivitas kehidupan manusia berada dalam kerangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai kehendak Allah.   

-Pilar kedua, mashlahah. Penempatan prinsip ini diurutan kedua karena mashlahah merupakan konsep yang paling penting dalam syariah, sesudah tauhid. Mashlahah merupakan tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu sendiri. Secara umum, maslahah diartikan sebagai kebaikan dunia dan akhirat. Para ahli ushul fikih mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang mengandung manfaat, kegunaan, kebaikan, dan menghindarkan mudharat, kerusakan dan mafsadah. Maslahah merupakan upaya mewujudkan dan memelihara lima kebutuhan dasar, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.  

-Pilar ketiga, adil. Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh Alquran sebagai misi utama para Nabi yang diutus Allah (Q.S. Al-Hadid, 57: 25). Alquran secara eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan persaudaraan tersebut. Menurut Umar Chapra, sebuah masyarakat Islam yang ideal mesti mengaktualisasikan keadilan dan persaudaraan  secara bersamaan, karena keduanya merupakan dua sisi yang tak bisa dipisahkan. 

-Pilar keempat, khalifah. Dalam ajaran Islam, manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah (wakil Allah) di muka bumi (Q.S. al-Baqarah, 2: 30; al-An’am, 6: 165); Fathir, 35: 39). 

-Pilar kelima, persaudaraan (ukhuwah). Alquran mengajarkan persaudaraan sesama manusia, termasuk dan terutama ukhuwah dalam perekonomian. Alquran mengatakan: ”Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” (Q.S. al-Hujurat, 49: 13); ”Kami menjadikan kamu dari diri yang satu” (Q.S. al-Nisa, 4: 1). 

-Pilar keenam, kerja dan produktifitas. Islam memang menganggap bahwa bekerja merupakan ibadah. Sebuah hadis menyebutkan bahwa bekerja merupakan jihad fi sabilillah. Karena semua hal milik Allah (Q.S. Al-Nur,  24: 33) maka manusia dianggap sebagai memegang hak milik relatif, artinya manusia hanyalah sebagai penerima titipan, trustee (pemegang amanat) yang harus mempertanggungjawabkannya kepada Allah. Jadi, menurut ekonomi Islam, penguasaan manusia terhadap sumberdaya, faktor produksi atau asset produktif hanyalah bersifat titipan dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan.  

-Pilar ketujuh, kepemilikan. Konsep kepemilikan pribadi atas dasar sebagai amanat dari Tuhan ini membawa sejumlah implikasi yang sangat penting yang membawa perbedaan revolusioner dengan sistem ekonomi lain seperti kapitalisme dan sosialisme. Pertama, bahwa sumber daya diperuntukkan bagi semua orang, bukan untuk sebagian kecil manusia (Q.S. alBaqarah, 2: 29 ). 

-Pilar kedelapan, kebebasan dan tanggung jawab. Prinsip kebebasan dan tanggung jawab dalam ekonomi Islam pertama kali dirumuskan oleh An-Naqvi. Kedua prinsip tersebut, masing-masing dapat berdiri sendiri, tetapi oleh beliau kedua prinsip tersebut digabungkan menjadi satu.

-Pilar kesembilan, jaminan sosial. Islam mendorong agar praktik ekonomi dapat memberikan jaminan sosial pada kaum tidak berdaya. Kewajiban zakat, infaq, shadaqah, dan sejenisnya menunjukkan ideal moral tersebut. Karena itu pelaku ekonomi secara individu menjadikan pengeluaran untuk infaq shadaqah dan zakat sebagai orientasi atau motif bekerjanya, sebagaimana juga negara diwajibkan memberikan jaminan sosial pada  kaum tak berdaya ini.   

-Pilar kesepuluh, nubuwwah. Prinsip nubuwwah dalam ekonomi Islam merupakan landasan etis dalam ekonomi mikro. Konsep nubuwwah mengajarkan bahwa fungsi kehadiran seorang Nabi untuk menjelaskan syariah Allah Swt. kepada umat manusia. Konsep nubuwwah juga mengajarkan bahwa Nabi merupakan personifikasi kehidupan yang yang baik dan benar.  

C. Kaidah Umum Ekonomi Islam  

1. Kepemilikan (property). 

Dari segi kepemilikan, bahwa Allahlah yang merupakan pemilik segala kekayaan. Allah menyatakan dalam Alquran surat an-Nur (24) ayat 33: “dan berikanlah kepada mereka, harta dari Allah yang telah Dia berikan kepada kalian”. Oleh karena itu, kakayaan adalah milik Allah semata. Namun demikian, Allah telah menyerahkan kekayaan tersebut kepada manusia untuk diatur sedemikian rupa.  Dalam surat al-Hadid (57) ayat 7 dinyatakan: “dan nafkahkanlah apa saja yang telah kalian dijadikan (oleh Allah) berkuasa terhadapnya”; demikian juga dalam surat Nuh (71) ayat 12: “dan (Allah) membanyakkan harta dan anak-anakmu”. Dalam pemilikan ini, terdapat kepemilikan individu (private property), sehingga setiap orang bisa memiliki kekayaan dengan sebab-sebab atau cara-cara kepemilikan tertentu. Seperti telah diriwayatkan oleh Abu Daud dari Samurah bahwa Nabi saw. bersabda: “dan siapa saja yang memagari sebidang tanah, maka tanah tersebut adalah menjadi haknya”.

2. Pengelolaan kepemilikan. 

Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum itu merupakan hak negara, karena negara sebagai wakil dari umat. Ditegaskan oleh an-Nabhani bahwa syara telah melarang negara untuk mengeola kepemilikan umum dengan cara barter (mubadalah) atau dikapling untuk orang tertentu. Pengelolaan kepemilikan oleh negara harus berpijak pada hukum-hukum yang diperbolehkan oleh syara. Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan negara dan kepemilikan oleh individu sudah dijelaskan dalam hukum-hukum muamalah, seperti jual-beli atau perdagangan, koperasi, penggadaian, persewaan, perseroan (syirkah), asuransi, dan sebaginya. 

3. Distribusi kekayaan. 

Adapun tentang cara distribusi kekayaan kepada individu, dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan serta transaksi transaksi yang wajar. Hanya saja, perbedaan individu dalam masalah kemampuan dan kebutuhan akan suatu pemenuhan, bisa juga menyebabkan perbedaan distribusi kekayaan tersebut di antara mereka. Oleh karena itu, syara melarang perputaran kakayaan hanya di antara orang-orang kaya, dan mewajibkan perputaran tersebut terjadi di antara semua orang secara berimbang. Dalam Alquran surat al-Hasyr (59) ayat 7 Allah Swt. berfirman: “supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”.  

D. Pengertian Politik Ekonomi Islam  

Politik ekonomi yakni tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum yang dipergunakan untuk memecahkan mekanisme mengatur urusan manusia. Sedangkan politik ekonomi Islam yakni jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (basic needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya.  Dalam hal ini, politik ekonomi Islam merupakan pemecahan masalah utama yang dihadapi setiap orang, yaitu sebagai manusia yang hidup sesuai dengan interaksi tertentu serta memungkinkan orang yang bersangkutan untuk meningkatkan taraf hidupnya, dan mengupayakan kemakmuran dirinya dalam pola hidup tertentu. Oleh karena itu, ketika mensyariatkan hukum-hukum ekonomi kepada manusia, Islam telah mensyariatkan hukum-hukum itu kepada pribadi. Sedangkan pada saat mengupayakan terjamin-tidaknya hak hidup serta tercapai-tidaknya suatu kemakmuran, Islam telah menjadikan semuanya harus direalisasikan dalam sebuah masyarakat yang memiliki pola hidup tertentu. Islam, dengan demikian, memperhatikan segala hal yang menjadi tuntutan masyarakat sebagai asas dalam memandang kehidupan dan kemakmuran.  

 E. Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia 

Secara politik ekonomi Islam, ada sejumlah alasan yang mengharuskan pemerintah Indonesia melakukan intervensi terhadap pengembangan ekonomi Islam, yaitu: 

(1) Industri keuangan syariah memiliki dampak yang positif bagi stabilitas perekonomian makro Indonesia, 

(2) Industri keuangan syariah memiliki ketahanan atau resistensi yang cukup tinggi terhadap goncangan krisis keuangan, 

(3) Diperlukannya peran aktif pemerintah sebagai regulator dan supervisor sehingga tercipta efisiensi, transparansi dan berkeadilan, 

(4) Ekonomi Islam dapat berperan sebagai penyelamat bila terjadi ketidakpastian usaha atau perekonomian, dan 

(5) Dalam teori maupun realitasnya, industri keuangan syariah membutuhkan infrastruktur yang mendukung perkembangannya. 

Dalam koridor itulah, politik ekonomi Islam pemerintah Indonesia telah mengundangkan beberapa Undang Undang, yang dapat dipaparkan sebagai berikut. 

Pertama, UU Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). UU Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) disahkan pada 7 Mei 2008. Lahirnya UU SBSN memberikan harapan di tengah APBN yang selalu defisit untuk bisa mendorong tersedianya sumber keuangan alternatif bagi negara.

Kedua, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pada 17 Juni 2008 telah diundangkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Lahirnya UU Perbankan Syariah menandai era baru perbankan Syariah berpayung hukum jelas.  

Ketiga, Pemerintah yang diwakili BUMN mendirikan Bank Syariah. Bukti nyata nyata dari politik ekonomi Islam yang diperankan pemerintah dalam sektor industri perbankan Syariah yakni berdirinya Bank Syariah Mandiri (BSM) yang modal inti terbesarnya dari Bank Mandiri yang nota bene merupakan bank BUMN.

Keempat, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-Undang no. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004, ditambah Kepmen Nomor 04 Tahun 2009 tentang Administrasi Wakaf Uang. 

Kelima, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). MUI sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam bidang keagamaan yang berhubungan dengan kepentingan umat Islam Indonesia membentuk suatu dewan syariah yang berskala nasional yang bernama Dewan Syariah Nasional (DSN), berdiri pada tanggal 10 Februari 1999 sesuai dengan Surat Keputusan (SK) MUI No. kep 754/MUI/II/1999. Lembaga DSN MUI ini merupakan lembaga yang memiliki otoritas kuat dalam penentuan dan penjagaan penerapan prinsip Syariah dalam operasional di lembaga keuangan Syariah, baik perbankan Syariah, asuransi Syariah dan lain-lain.   

Keenam, UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat. Diundangkannya UU Zakat menunjukkan politik ekonomi Islam dalam ranah keuangan publik pemerintah RI cukup akomodatif terhadap kebutuhan umat Islam untuk melaksanakan rukun Islam yang ke-3

Ketujuh, UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Diundangkannya Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah memberikan arah baru bagi kompetensi Peradilan Agama. 

Kedelapan, KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah). Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang dikoordinir oleh Mahkamah Agung (MA) RI yang kemudian dilegalkan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) 02 Tahun 2008 merupakan respon terhadap perkembangan baru dalam kajian dan praktik ekonomi Islam di Indonesia.

Kesembilan, Gerakan Wakaf Tunai. Gerakan nasional wakaf tunai dimotori oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara Jakarta pada 8 Januari 2010, pengelolaannya diserahkan ke Badan Wakaf Indonesia (BWI). BWI sudah membuat aturan tentang wakaf uang sehingga pengumpulan, penggunaannya dan pertanggungjawabannya dapat transparan serta akan diaudit oleh auditor independen.

Kesepuluh, Dikeluarkannya PP Nomor 39 Tahun 2008 Asuransi syariah tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Walaupun pemerintah belum mengundangkan secara khusus tentang asuransi Syariah, akan tetapi hadirnya PP Nomor 39 tersebut menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan industri asuransi Syariah sebagai bagian politik ekonomi Islamnya. 

Kesebelas, didirikannya Direktorat pembiayaan Syariah di DEPKEU. Direktorat Pembiayaan Syariah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan RI merupakan direktorat yang melaksanakan amanah UU No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN,  sehingga lahirnya berbagai jenis sukuk negara, di antaranya sukuk ritel dan korporasi.  

Keduabelas, penyelenggaraan World Islamic Economic Forum (WIEF) di Indonesia. World Islamic Economic Forum (WIEF) atau Forum Ekonomi Negara-Negara Islam ke-5 yang diselenggarakan di Indonesia, pada 2-3 Maret 2009, dengan didukung penuh oleh pemerintah merupakan suatu bukti dukungan dan political will pemerintah terhadap pengembangan ekonomi Islam. World Islamic Economic Forum ke-5 tersebut berkontribusi sebagai salah satu upaya menemukan solusi mengatasi dampak krisis keuangan global dengan pendekatan ekonomi Islam.  

BAB 11 KONSEP POLITIK ISLAM

 BAB 11 KONSEP POLITIK ISLAM


A. PENGERTIAN POLITIK ISLAM

>Politik Islam diartikan sebagai Siyasah Ilahiyyah wa Inabah Nabawiyyah saw (Khalaf, 1984: 6). Hal itu bermakna bahwa politik Islam merupakan serangkaian pandangan hidup berdasarkan perintah Allah dan Rasulullah yang bermuara pada proses keadilan dan keadaban. Melalui hal tersebut rakyat menjadi nyaman dan tenteram. Rakyat hidup dalam naungan pemerintahan yang memanusiakan manusia dan bertindak—vita activa meminjam istilah Hannah Arendt (1998) atas pemenuhan nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat yang adil dan beradab. 

>Terdapat pandangan umum arti dari Politik Islam:

Merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek legal dan formal idealisme politik Islam. Kecenderungan seperti ini biasanya ditandai oleh keinginan untuk menerapkan “Syarîah” secara langsung sebagai konstitusi negara. Dalam konteks negara-bangsa yang ada dewasa ini adalah seperti yang dicontohkan oleh Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, Aljazair dan Indonesia. Model formal ini punya potensi untuk berbenturan dengan sistem-sistem politik modern. Sebaliknya, aliran dan model pemikiran yang kedua lebih menekankan substansi daripada bentuk negara yang legal dan formal. Karena wataknya yang substansialis sedemikian itu (dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah, dan partisipasi, yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam), kecenderungan itu mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat menghubungkan Islam dan sistem politik modern, di mana negara-bangsa merupakan salah satu unsur utamanya (Effendy, 2009: 15-16). Dua hal tersebut di atas menunjukkan secara gamblang, politik Islam menghadapi problema yang berkembang dari adanya kemajemukan di kalangan umat Islam itu sendiri.  Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa kelompok politik Islam bukanlah merupakan suatu kelompok kepentingan tunggal (Jurdi, 2008: 186). Lebih lanjut Syarifuddin Jurdi (2008: 187) menegaskan bahwa pluralisme politik Islam merupakan refleksi dari pluralisme masyarakat Islam. Sedangkan pluralisme masyarakat Islam itu sendiri merupakan konsekuensi logis dari proses Islamisasi di sebuah negara kepulauan, yang dari satu tempat ke tempat yang lain berbeda intensitasnya. 

B. PRINSIP-PRINSIP POKOK DALAM POLITIK ISLAM

a.  Prinsip keadilan dan amanah tertuang dalam (Q.S. an-Nisa’, 4: 58).

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” 

b.  Menghargai kemajemukan atau pluralisme dan Persamaan mengacu pada (Q.S al-Hujurat,49: 13).

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” 

c. Musyawarah mendasarkan pada Q.S. as-Syura (42): 38 dan Ali Imran (3): 159. 

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” Q.S. as-Syura (42): 38 

 “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” Ali Imran (3): 159. 

d. Prinsip mengutamakan perdamaian sesuai dengan Q.S. al-Anfal (8): 61.  

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” 

e. Prinsip menjalankan Amar ma’ruf nahi munkar berdasar Q.S. Ali Imran (3): 104.  

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” 

C. IMPLEMENTASI NILAI-NILAI POLITIK ISLAM DI INDONESIA

Implementasi nilai-nilai politik Islam di Indonesia, yang diterapkan dalam kerangka **Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika:

 1. Musyawarah untuk Mufakat (Syura)

Contoh Proses pengambilan keputusan di DPR/MPR dan lembaga desa seperti musyawarah desa  

Nilai Islam Konsep syura (QS. Asy-Syura: 38) yang menekankan musyawarah untuk mencapai kebijakan yang adil.  

2. Keadilan Sosial (Al-‘Adl)

Contoh: Program zakat nasional (Baznas) dan dana sosial keagamaan yang didukung negara.  

 Nilai Islam: Zakat (QS. At-Taubah: 60) dan keadilan (QS. An-Nahl: 90) diwujudkan melalui kebijakan sosial.  

3. Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Contoh: Peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam memberikan fatwa dan pengawasan moral.  

Nilai Islam: Dorongan untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. Ali Imran: 104).  

4.Kebebasan Beragama (Hifz ad-Din) 

Contoh: Jaminan konstitusi (Pasal 29 UUD 1945) dan toleransi antarumat beragama.  

Nilai Islam: Islam melindungi hak beragama (QS. Al-Baqarah: 256).  

5. Anti-Korupsi (Larangan Ghulul)  

Contoh: Pemberantasan korupsi oleh KPK sesuai dengan prinsip Islam yang melarang pengkhianatan (QS. Ali Imran: 161).  



Rabu, 14 Mei 2025

BAB 10 KONSEP PERNIKAHAN DALAM ISLAM

 BAB 10 KONSEP PERNIKAHAN DALAM ISLAM


A. Pengertian Tujuan dan Fungsi Pernikahan

-Pengertian Pernikahan

    Pernikahan adalah terjemahan dari kata nakaha dan zawaja. Secara etimologi, nikah berasal dari akar kata bahasa Arab: nakaha – yankihu – nikahan bisa diartikan ”wathi” atau ”jima’ yang berarti ”mengumpulkan”, atau berkumpul atau persetubuhan (Taqiyuddin, 1997: 337). Sedangkan kata zawaja secara istilah berarti pasangan. Pemaknaan ini memberikan kesan bahwa antara suami isteri saling melengkapi, saling memberi dan saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing

    Definisi Perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)  yang bahagia dan kekal berdaasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 2 ”Perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidlon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah”. Sedang yang dimaksud ”akad” di sini adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya dan disaksikan oleh dua orang saksi. (KHI, 1991: Pasal 1). 

- Tujuan Pernikahan 

a. Pemenuhan kebutuhan biologis (Q.S. Al-Maarij, 70: 29-30)

b. Memperoleh keturunan yang sah. Masyarakat diharapkan dapat melestarikan kehidupan umat manusia sesuai ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syariah.  (Q.S.AnNahl,16: 72). 

c. Menjalin rasa cinta dan kasih sayang antara suami dan isteri.  UU No. 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal (UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 1). Dalam Kompilasi Hukum Islam, tujuan perkawinan tidak menggunakan kata ”bahagia” melainkan ”sakinah, mawaddah, dan rahmah”. ”Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah” (KHI, 1991: Pasal 3). 

d. Menjaga Kehormatan (Q.S. AnNisa, 4: 24). 

e. Beribadah kepada Allah Swt.  

- Fungsi Perkawinan 

a. Mendapatkan ketenangan hidup (mawaddah wa rahmah ). Ketenangan hidup dapat diperoleh melalui pernikahan sebagaimana telah dijelaskan pada Q.S. Ar-Rum, 30: 21

b. Menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Pernikahan akan berfungsi bagi para suami/Istri menjaga pandangan mata dan kehormatan, Nabi Muhammad saw. menegaskan dalam hadis riwayat  Imam al-Bukhari, ”Wahai pemuda, barang siapa di antara kamu yang sudah mampu, maka menikahlah, karena dengan menikah maka akan menundukkan pandangan mata dan menjaga kehormatan, serta bagi yang tidak mampu dianjurkan untuk berpuasa karena dengan puasa dapat mengendalikan diri.” (H.R. al-Bukhari).   

c. Untuk mendapatkan keturunan. Mempunyai keturunan merupakan naluri setiap manusia yang melakukan pernikahan, dan  Nabi saw. melalui sabdanya  yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menganjurkan memilih pasangan yang subur yang akan memberikan banyak keturunan. Dalam hadis diberitakan,“...bahwasanya Rasullah menyuruh kita untuk menikah dan melarang kita hidup membujang. Beliau bersabda: ”... Nikahilah wanita yang bibitnya subur sehingga dapat memberikan banyak keturunan, lagi penyayang karena aku bangga di hadapan para nabi dengan banyaknya kamu di hari kiamat..” (H.R. Imam Ahmad).

B. Syarat dan Rukun Pernikahan dalam Islam 

Berdasarkan Alquran dan hadis, para ulama menyimpulkan bahwa hal-hal yang termasuk rukun pernikahan adalah a) calon suami, b) calon isteri, c) wali nikah, d) dua orang saksi, dan e) ijab dan qabul. 

Kewajiban akan adanya saksi ini adalah pendapat Syafi’i, Hanafi dan Hanbali (Yunus, 1996: 18). Adapun syarat-sahnya nikah, menurut Wahbah Zuhaili adalah : a) antara  suami isteri tidak ada hubungan nasab, b) sighat ijab qabul tidak dibatasi waktu, c) adanya persaksian, d)  tidak ada paksaan, e) ada kejelasan calon suami isteri, f) tidak sedang ihram, g) ada mahar, h) tidak ada kesepakatan untuk menyembunyikan akad nikah salah satu calon mempelai, i) tidak sedang menderita penyakit kronis, dan j) adanya wali (Az-Zuhaili, 1989: 62). 

C. Kontroversi Pernikahan dalam Islam

Faktor penghalang terjadinya perkawinan ada dua macam, yang pertama adalah penghalang selama-lamanya, yang kedua adalah penghalang  sementara. Penghalang  selama-lamanya adalah: 

1. Antara suami isteri masih memiliki hubungan nasab.

2.  Antara suami isteri mempunyai hubungan sepersusuan.

3. Antara suami isteri mempunyai hubungan semenda/perkawinan.

Adapun larangan perkawinan yang bersifat sementara adalah sebagai berikut. 

1. Calon isteri masih menjalani ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki.  ”Seorang perempuan yang mempunyai ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki, tidak bisa melakukan perkawinan dengan laki-laki lain” (KHI Pasal 40). 

2. Memadukan dua orang perempuan yang sedarah, dalam hal seorang suami mempunyai isteri lebih dari satu (KHI, Pasal 41). 

3. Isteri orang lain atau bekas isteri orang lain yang sedang menjalani masa iddah. Wanita yang mengalami masa iddah, atau masa tunggu setelah terputusnya hubungan perkawinan, tidak diperbolehkan menikah lagi dengan laki-laki lain sampai habis masa tunggunya. Tujuan iddah adalah untuk membersihkan rahim perempuan dan memastikan bahwa tidak ada benih yang tertanam dari suami sebelumnya.  

4. Perempuan yang ditalak tiga kali, atau dicerai secara li’an. Bagi suami yang mentalak tiga kali isterinya, atau bersumpah di depan hakim bahwa isterinya menyeleweng dan kemudian menceraikannya (li’an), tidak boleh menikahinya kembali sebelum perempuan tersebut dinikahi oleh laki-laki lain dalam perkawinan yang sah (Ash-Shabuni, 1985: 122; KHI Pasal 43). 

5. Kedua calon mempelai tidak sedang dalam keadaan ihram (haji atau umruh). Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang yang sedang ihram diharamkan melakukan perkawinan baik secara sendiri maupun diwakilkan (Sabiq, 1996: 125; KHI Pasal 5 ). 

6. Khusus untuk calon mempelai laki-laki, tidak beristerikan lebih dari empat orang. (KHI, Pasal 55).  

BAB 9 KONSEP GENDER DALAM ISLAM

BAB 9 KONSEP GENDER DALAM ISLAM


A. Pengertian Gender

    Gender  secara etimologis, istilah gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Kata gender harus dibedakan dengan istilah seks (jenis kelamin). Seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia secara biologis yakni laki-laki dan perempuan. Secara biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan dan sudah ketentuan Tuhan atau kodrat. Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2001: 8). 

    Menurut Wharton (2005: 7) gender adalah karakter atau ciri pembawaan yang berhubungan dengan tingkah laku yang menjadi perhatian orang-orang untuk memiliki dasar penugasan khusus sesuai dengan jenis kelaminnya.  Secara lengkap BKKBN dalam modulnya (2007: 7) menjelaskan gender sebagai perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Selanjutnya seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat reproduksi. Oleh karena itu, seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen dan universal. 

    Istilah gender sendiri berasal dari bahasa latin Genus yang berarti jenis atau tipe. Gender dalam situs http://id.wikipedia.org/wiki/Gender diterangkan secara detail, Gender (pengucapan bahasa Indonesia: [gènder]) atau sering juga disalahejakan jender dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin seseorang dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat. WHO memberi batasan gender sebagai "seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dalam suatu masyarakat." 

B. Prinsip Gender 

Adapun prinsip-prinsip kesetaraan gender ada di dalam Alquran, yakni: 

1. Perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama sebagai hamba Allah (‘Abdullah) dalam surat  (Q.S. Adz-Dzariyat, 51: 56). 

    Laki-laki dan perempuan memiliki potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba Allah yang ideal yakni sebagai orang yang bertakwa (mutaqqun). Allah Swt. memerintahkan kepada manusia baik laki-laki maupun perempuan untuk beribadah tanpa kecuali dan Allah Swt. hanya memandang perbedaan di antara mereka dari tingkat kemuliaan mereka dari sisi ketakwaannya. 

2. Perempuan dan laki-laki mempunyai tugas yang sama sebagai khalifah di bumi (khalifatu fil ardl)  dalam surat  (Q.S. Al-An’aam, 6: 165) dan (Q.S. Al Baqarah, 2: 30)

    Dalam surat tersebut perempuan dan laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di muka bumi. Laki-laki dan perempuan bahu membahu menjalankan peran dan tugas sebagai khalifah atau wakil Tuhan di muka bumi tanpa membedakan status dan kelasnya. 

3. Perempuan dan laki-laki sama-sama menerima perjanjian awal Dengan Tuhan dalam surat (Q.S. Aal- A’raaf, 7: 172)

4. Hawa dan adam terlibat secara aktif dalam drama kosmis dalam surat (Q.S. Al-Baqarah, 2: 35), (Q.S. alA’raaf, 7: 20), dan (Q.S. al-A’raaf, 7: 23)

5. Perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi meraih prestasi Dari surat Ali Imran ayat 195, An Nisa’ ayat 124, dan An Nahl ayat 97

6. Perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi berdakwah amar ma’ruf nahi munkar Berdasarkan surat Ali Imran ayat 104 dan 110, setiap umat Islam (laki-laki dan perempuan) harus ikut serta melaksanakan terwujudnya dakwah amar ma’ruf nahi munkar.

C. Implementasi Kesetaraan Gender Indonesia

1. Bidang Pendidikan

  • Kebijakan Pendidikan Inklusif: Pemerintah memberikan beasiswa khusus bagi perempuan, seperti Beasiswa ADik untuk perempuan dari daerah tertinggal.

  • Kesetaraan Akses: Sekolah dan perguruan tinggi didorong untuk memastikan partisipasi setara antara siswa laki-laki dan perempuan, termasuk dalam bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics).

2. Dunia Kerja

  • Regulasi Ketenagakerjaan: UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan melarang diskriminasi gender dalam rekrutmen, upah, dan promosi.

  • Program Pemberdayaan Perempuan: Kementerian PPPA mendorong UMIM milik perempuan melalui pelatihan kewirausahaan dan akses permodalan.

3. Politik dan Kepemimpinan

  • Kuota 30% Perempuan di Parlemen: UU Pemilu mewajibkan partai politik memenuhi kuota caleg perempuan untuk meningkatkan representasi.

  • Kepemimpinan Perempuan: Contoh nyata seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.

4. Kesehatan dan Perlindungan Sosial

  • Kesehatan Reproduksi: Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) serta akses kontrasepsi bagi perempuan.

  • Perlindungan dari Kekerasan: UU PKDRT (No. 23/2004) dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS/No. 12/2022) melindungi korban kekerasan berbasis gender.

5. Budaya dan Media

  • Kampanye Kesetaraan: Gerakan seperti #HeForShe dan kampanye media yang mendobrak stereotip gender (contoh: iklan yang menampilkan ayah mengasuh anak).

  • Seni dan Sastra: Karya yang mengangkat isu kesetaraan, seperti film Perempuan Berkalung Sorban.

6. Sektor Teknologi dan Inovasi

  • Perempuan di Bidang Digital: Program Girls in Tech Indonesia mendorong partisipasi perempuan di sektor teknologi.

  • Pembelajaran Daring: Platform seperti Sekolah Perempuan memberikan akses pendidikan bagi perempuan di daerah terpencil.


BAB 15 ISLAM DAN WAWASAN KEINDONESIAAN

 BAB 15 ISLAM DAN WAWASAN KEINDONESIAAN A. ISLAM DAN KEINDONESIAAN -Memahami Istilah Islam Nusantara       Makna kata “nusantara”. Nusantara...