BAB 15 ISLAM DAN WAWASAN KEINDONESIAAN
A. ISLAM DAN KEINDONESIAAN
-Memahami Istilah Islam Nusantara
Makna kata “nusantara”. Nusantara adalah istilah yang menggambarkan wilayah kepulauan dari Sumatera hingga Papua. Kata ini berasal dari manuskrip berbahasa Jawa sekitar abad ke-12 Masehi sampai ke-16 Masehi sebagai konsep Negara Majapahit. Sementara dalam literatur berbahasa Inggris abad ke-19 Masehi, Nusantara merujuk pada kepulauan Melayu. Ki Hajar Dewantoro, memakai istilah ini pada abad 20-an sebagai salah satu rekomendasi untuk nama suatu wilayah Hindia Belanda. Karena kepulauan tersebut mayoritas berada di wilayah negara Indonesia, maka Nusantara biasanya disinonimkan dengan Indonesia. Istilah ini kemudian secara konstitusional dikukuhkan dengan Ketatapan MPR No. IV/MPR/1973, tentang Garis Besar Haluan Negara Bab II Sub E (Luthfi, 2016:3). Pengakuan akan adanya Islam Nusantara sekarang ini memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengelolaan bangsa dan negara Indonesia yang sarat dengan keberagaman. Hal ini dapat dilihar dari jumlah penduduk Indonesia yang sekarang ini (2018) lebih dari 250 juta, atau tepatnya 270.054.853 (BPS, 2018). Keberagaman ini juga dilihat dari jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia, yakni 714 suku bangsa, 500-an bahasa, ribuan tradisi budaya, serta 6 agama resmi dan ratusan aliran kepercayaan. Islam Nusantara mampu memposisikan diri sebagai kekuatan yang mampu mengintegrasikan dan mempertahankan keutuhan bangsa Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika. Islam Nusantara sebenarnya merupakan sebuah identitas Islam dengan berbagai nilainya yang diimplementasikan di bumi Nusantara yang telah lama mengakar dan dipraktikkan oleh rakyat Indonesa dalam kurun waktu yang sangat lama. Salah satu ciri Islam Nusantara yaitu kesantunan dan kesopanan dalam beragama dan penyebaran agama di tengah-tengah masyarakat. Agama Islam disebarkan oleh para ulama yang memiliki wawasan keislaman yang mendalam sekaligus wawasan kebangsaan yang benar, sehingga Islam yang diajarkan adalah Islam yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan. Islam Nusantara mengedepankan ajaran-ajaran Islam yang moderat yang penuh dengan nilai-nilai toleransi. Islam Nusantara adalah Islam yang hidup dalam keragaman, Islam yang menjunjung tinggi hak-hak perempuan, hak asasi manusia, dan hak bagi pemeluk agama selain Islam. Islam Nusantara dapat menjadi model bagi bangsa lain untuk mengambil nilai-nilai positif di wilayahnya masing-masing (Salim, 2018: iii).
Karakter dan budaya keindonesiaan. Kekhasan Islam Nusantara seperti ini menjadikan Islam mudah dipahami dan dapat diterima oleh masyarakat Indonesia secara masif. Prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (tenggang rasa) dengan tidak mengeliminasi kultur dan fakta sosial keindonesiaan menjadikan Islam Nusantara tampil dengan wajah yang damai, santun, dan toleran.
-Keragaman Negara Indonesia
Bumi Indonesia adalah hamparan tanah, pasir, bebatuan, air yang berbentuk dataran, perbukitan, lembah, pegunungan, baik itu di darat maupun di laut. Posisi bumi Indonesia berada di antara daratan benua Asia dan Australia serta di antara lautan Samudra Pasifik dan Hindia. Bumi Indonesia berbatasan darat langsung dengan Malaysia di pulau Kalimantan, Papua Nugini di pulau Papua, dan Timor Leste di pulau Timor. Bumi Indonesia juga berbatasan laut langsung dengan India, Singapura, Filipina, dan Austalia. Di atas sudah dijelaskan beberapa bukti kekayaan dan keberagaman Indonesia yang tentu masih bisa diungkap yang lebih dari data tersebut. Indonesia memiliki sejarah panjang sejak abad ke-4 Masehi sampai abad ke-21 ini. Penduduk Indonesia telah berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain melalui perdagangan international. Berdirinya kerajaan Sriwijaya di Palembang pada abad ke-7 Masehi sekaligus menandai kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting pada zaman itu. Kerajaan Sriwijaya tercatat pernah menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan bangsa Tiongkok, India, dan Arab. Kerajaan Hindu/Buddha mulai tumbuh awal abad ke-4 Masehi sampai dengan abad ke-13 Masehi di kepulauan Nusantara dengan transaksi perdagangan yang saling menguntungkan di antara bangsa-bangsa dunia. Pada abad ke-8 Masehi sampai dengan abad ke-16 Masehi berdatanganlah para pedagang muslim dan para ulama muslim dari gurun Arabia untuk berdagang di wilayah kerajaan Hindu/Buddha yang telah ada di kepulauan Nusantara. Pada abad ke-15 Masehi sampai dengan abad ke-20 Masehi berdatangan pula para pedagang Eropa untuk berdagang dan berburu rempah-rempah Maluku pada masa penjelajahan samudera. Dinamika perdagangan bangsa-bangsa tersebut saling mempengaruhi cara berpikir, bertindak, bahkan beragama di antara masing-masing pedagang serta penduduk lokal yang menjadi konsumen dan/atau produsen barang dan jasa pada zamannya. Buah dari interaksi perdagangan tersebut yaitu kesadaran tentang identitas kebangsaan Indonesia yang berbeda dari para pendatang Eropa, India, atau Arab.
-Hubungan Antara Islam dan Indonesia
Hubungan antara Islam dan Indonesia dapat dipahami sejak masuknya Islam di Nusantara yang kemudian bernama Indonesia. Sejarah Islam di Nusantara mengalami perkembangan seiring dengan sejarah perkembangan Islam di berbagai wilayah di Nusantara. Perkembangan Islam di Nusantara lebih terlihat lagi sejak berdirinya kerajaankerajaan Islam di Nusantara yang dimulai dari Kerajaan Samudera Pasai di Pulau Sumatera. Selanjutnya kerajaan-kerajaan Islam tumbuh dan berkembang di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya di wilayah Nusantara. Sejaran panjang tumbuh dan berkembangnya Islam dalam bingkai kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara menggambarkan hubungan yang begitu kuat antara Islam dan Indonesia. Cukup banyak sejarawan dan para ahli yang menulis sejarah dan historiografi Islam di Nusantara dengan berbagai variasinya. Di antara mereka yaitu Tun Seri Lanang, Raja Ali Haji, Rosenthal, Hamka, Tengku Said, dan Hoesein Djajadiningrat (Multazam, 2018:121-125). Dari catatan mereka tentang sejarah Islam di Indonesia dapat dipahami bahwa Islam di Indonesia memiliki kekhasan dibandingkan dengan Islam di negara-negara lain, terutama negaranegara di semenanjung Arabia. Tidak bisa dipungkiri bahwa Islam yang berasal dari Arab tampil agak berbeda di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari dalam berinteraksi sosial, bahkan dalam hal-hal yang bernuansa ritual keislaman.
Dengan demikian, tampilnya Islam di Indonesia seperti sekarang yang “berbeda” dengan Islam di negeri asalnya (Arab) mengindikasikan begitu eratnya hubungan Islam dengan Indonesia yang diwarnai oleh nilainilai keindonesiaan yang sopan, toleran, dan harmonis. Hubungan kedekatan dan keeratan antara Islam dan Indonesia dapat dilihat dalam berbagai kajian. Islam masuk ke Indonesia dengana tujuan mengislamkan masyarakat Indonesia. Islam dengan nilai-nilainya yang universal mempengaruhi masyarakat Indonesia dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari. Dalam hubungan ini, budaya yang dibawa Islam untuk memengaruhi Nusantara berupa sistem nilai substantif atau universal, teologi, dan ritual ibadah yang sifatnya pasti. Sementara budaya Islam yang bersifat fisik — dalam pengertian sosiologis — seperti cara berpakaian, berjilbab, dan nada membaca Alquran (langgam) dianggap sebagai budaya Arab yang tidak perlu dibawa ke Nusantara. Islam memiliki budaya fisik-sosiologis yang memiliki karakteristik ke-Arab-an yang dapat digabung dengan budaya lokal, sehingga memunculkan budaya baru. Misalnya, lembaga pendidikan pesantren dan tulisan pegon (gabungan dari budaya tulisan Arab dengan bahasa Nusantara).
B. ISLAM DEMOKRASI PANCASILA, DAN WAWASAN KEINDONESIAAN
Pancasila Pemersatu Bangsa dan Menyatukan Perbedaan Perumusan dasar negara merupakan hasil dinamika berpikir para pendiri bangsa yang melihat perbedaan sebagai rahmat yang harus dikelola dengan adil supaya tidak jadi bencana. Ada lebih kurang sebelas versi rumusan Pancasila sejak pertama dicetuskan sampai bentuk final yang disepakati bersama.
Rumusan pertama disampaikan secara lisan dan tulisan oleh Mr. Muhammad Yamin pada sidang BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei – 1 Juni 1945. Isi dasar negara itu meliputi kebangsaan, kemanusiaan, ketuhanan, kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat (Bahar, 1992).
Rumusan kedua disampaikan oleh Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945. Isi dasar negara meliputi persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir dan batin, musyawarah, dan keadilan rakyat. Rumusan ketiga disampaikan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Isi dasar negara meliputi nasionalisme, perikemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan.
Rumusan keempat disusun oleh Panitia Sembilan untuk menyelaraskan hubungan antara negara dan agama serta hasil kesepakatan tersebut lebih popular dengan sebutan “Piagam Jakarta”. Isi dasar negara meliputi ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakayatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan kelima hasil kesepakatan rapat pleno BPUPKI pada tanggal 14 Juli 1945 yang membahas dan merevisi Piagam Jakarta menjadi dasar negara atas dasar ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Revisinya hanya menghilangkan kata “serta” pada kalimat terakhir Piagam Jakarta. Rumusan keenam adalah hasil musyawarah PPKI yang bersidang pada tanggal 18 Agustus 1945. Kesepakatan yang pokok yaitu penggantian kata “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai win-win solution atas keberatan dari perwakilan Indonesia bagian timur untuk mencantumkan kata tersebut dalam dasar negara. Kebesaran jiwa para tokoh muslim seperti Mohammad Hasan, Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadi Kusumo, dan Mohammad Hatta untuk mencoret tujuh kata pada sila ketuhanan dan menggantinya dengan “Yang Maha Esa” merupakan ijtihad politik untuk menyatukan perbedaan dalam satu bumi Indonesia. Rumusan ketujuh sampai dengan kesebelas tidak ada perbedaan yang berarti dengan rumusan keenam, kecuali pernik-pernik kecil rumusan Pancasila dalam kalimat singkat atau kalimat lengkap.
-Makna Islam dan Nilai Pancasila
Islam berasal dari kata dasar “salima” (salima-yaslamu-salam) yang berarti damai. Dari kata dasar itu kemudian muncul kata “aslama” (aslama-yuslimu-islaman) yang berarti mendamaikan, menyejahterakan, tunduk, atau patuh (Munawwir, 1997). Islam sebagai ajaran Tuhan adalah sikap, gagasan, dan perbuatan tunduk patuh pada kehendak Allah secara suka rela. Indikator keislaman ialah memberi manfaat bagi orang lain, sekecil apa pun. Nilai-nilai Pancasila meliputi ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Nilai ketuhanan dapat dimaknai ketaatan pada ajaran agama masing-masing yang ada dan dianut bangsa Indonesia. Seorang muslim mengamalkan nilai ketuhanan dengan cara mengamalkan ajaran keislamanannya dalam kehidupan sehari-hari, demikian juga dengan warga negara Indoneisa yang beragama Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Berdasarkan indikator keislaman dari hadis Nabi di atas, juga seorang muslim pasti prokemanusiaan, mengutamakan perdamaian, mendahulukan musyawarah dalam menyelesaikan perselisihan, dan berlaku adil terhadap siapa pun. Mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang bersumber dari ajaran Islam merupakan bentuk ketaatan kepada Tuhan. Nilai-nilai Pancasila yang bersumber dari ajaran Islam di antaranya kejujuran dalam berkata dan bertindak, disiplin dalam mencapai tujuan, bertanggung jawab atas kontrak pekerjaan yang diberikan pihak lain, santun terhadap sesama, peduli pada penderitaan orang lain, dan percaya diri dalam memilih jalan menuju tujuan yang dicita-citakan.
Jujur sama dengan kata “sidq” dalam bahasa Arab. Ada dua dimensi kejujuran dalam konteks kebahasaan, yaitu kejujuran yang bersifat objektif dan kejujuran yang bersifat subjektif (Izutsu, 1993:107, 116-122).
Disiplin adalah kemampuan seseorang untuk mengurus dirinya sendiri tanpa paksaan orang lain (Suseno, 1991:117; Mill, 1996:110-115). Ada tiga cara menanamkan kedisiplinan menurut Franz Magnis-Suseno (1993: 37-39), yaitu melalui paksaan atau ancaman fisik, melalui tekanan psikis, dan melalui pewajiban atau pelarangan. Paksaan fisik atau tekanan psikis hanya cocok untuk mendisiplinkan hewan, sedangkan untuk mendisiplinkan manusia hanya cocok melalui pewajiban dan pelarangan.
Tanggung jawab adalah kemampuan seseorang untuk memberikan penjelasan atas perbuatan yang telah dilakukan atau pernyataan yang telah diucapkannya (Suseno, 1993:4041). Ada tiga istilah kunci yang erat sekali dengan tanggung jawab, yaitu kewajiban, kemungkinan digugat, dan penghargaan atau hukuman (Bagus, 1996:1066-1067).
Santun adalah perbuatan hormat dalam bentuk perkataan atau perbuatan atau bahasa tubuh/isyarat kepada orang tua, kerabat dekat, guru, teman sebaya, anak yatim dan orang yang membutuhkan bantuan (Izutsu, 1993:246). Penghormatan kepada orang lain dalam bentuk perkataan meliputi ucapan terima kasih jika diberi sesuatu oleh orang lain, menyatakan pujian terhadap karya orang lain, memohon maaf jika melakukan kekeliruan yang merugikan orang lain, dan bertegur sapa dengan orang yang dikenal maupun orang asing.
Peduli adalah perbuatan yang menunjukkan penghargaan kepada kualitas seseorang atau sesuatu (Lickona, 1991:43). Perbuatan peduli berlandaskan aturan emas “siapa yang menolong orang lain sama dengan menolong dirinya sendiri” atau dalam rumusan lain “bertindaklah kepada orang lain seperti kamu menghendaki mereka bertindak demikian kepadamu” (Feldman, 1985:237; Schopenhauer, 1997:190). Kepedulian dapat juga diartikan seseorang merasa senasib sepenanggungan dengan orang lain, sehingga tidak ada seorang pun yang menderita atau dijadikan korban untuk keberadaan orang lain (Suseno, 1991:118119).