Rabu, 19 Maret 2025

BAB 3 SUMBER HUKUM ISLAM

                                                            SUMBER HUKUM ISLAM


A. SYARIAH DAN FIKIH    

    a) Definisi Syariah
Kata syariah juga merupakan bentuk masdar dari syar’un yang artinya sesuatu yang dibuka untuk mengambil sesuatu yang ada di dalamnya (Khallaf, 1977:98). Beberapa ayat dalam Alquran juga menyebut kata syariah seperti dalam surat Al-Jasiyah,45: 18, Asy-Syuara,42: 13,  dan beberapa ayat lain. Secara terminologi, syariah bisa diartikan dengan hukum Allah yang mengikat para mukallaf atau muslim yang sudah mempunyai beban hukum (Asy-Syatibi,tt: 25). Lebih detail lagi Hasbie Ash-Shidiqie menjelaskan bahwa syariah adalah aturan dari Allah yang disampaikan melalui Rasul bagi umat manusia agar diamalkan dengan penuh keimanan, baik aturan tersebut berhubungan dengan amalan praktis, aqidah atau akhlak (Ash-Shiddiqie, 1982:9-12).  Prinsip-prinsip dasar, yakni: 
a). menyedikitkan beban,
b). bertahap dalam menetapkan hukum contoh penetapan hukum haramnya khamr, 
c). sejalan dengan kemasalahatan umat, 
d). mewujudkan keadilan yang merata (Q.S. AL-Hujurat, 49: 13).  

    b) Definisi Fikih
Secara etimologi fikh berarti paham yang mendalam. Hasbie Ash-Shiddiqy mengartikan fikh sebagai aturan syari’ah mengenai perbuatan praktis yang diambil dan disimpulkan dari pemahaman terhadap dalil-dalil yang terdapat dalam Alquran dan Hadis (Ash-Shiddiqy, 1982: 9-12). Dari definisi tersebut, bisa dipahami bahwa fikh mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 
a) fikh adalah ilmu tentang hukum Allah, 
b) yang dibahas berupa perbuatan manusia, 
c) berdasarkan pada dalil terperinci, 
d) digali dan ditemukan melalui penalaran seorang mujtahid.   
 
    c) Perbedaan Konsep Syariah dan Konsep Fikih 


B. Al-QUR'AN

    a) Definisi Al-Qur'an
Secara etimologis, Alquran adalah bentuk masdar dari kata qa-ra-a yang artinya bacaan, berbicara tentang apa yang tertulis padanya, atau melihat dan menelaah (Syarifuddin, 1997: 46). Secara terminologi, Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab, sebagai hujjah (bukti) kerasulan Nabi Muhammad, dan membacanya adalah ibadah (Khallaf, 1977: 39). Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa: a) Alquran turun dalam bentuk lafadz. Bisa dipahami bahwa lafadz dan maknanya dari Allah, bukan dari malaikat atau dari Nabi saw.  
b) Alquran turun menggunakan bahasa Arab. Berarti terjemahan dan penafsiran Alquran bukan termasuk Alquran. 
c) diturunkan kepada nabi Muhammad saw.

    b) Proses, Isi,  dan Periode Turunnya Alquran
Alquran turun melalui proses pewahyuan, disampaikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui perantara Malaikat Jibril. Nabi Muhammad pertama kali menerima wahyu di Gua Hiro’. Wahyu yang pertama kali diterima oleh nabi Muhammad adalah surat Al-Alaq (96: 1-5), yang berisi perintah untuk membaca (Iqra). Turunnya wahyu kepada nabi Muhammad tidak sekaligus, melainkan melalui proses panjang dengan cara berangsurangsur. Ini artinya bahwa tiap ayat yang turun selalu mengandung makna yang tidak beranjak jauh dari kondisi sosiologis yang terjadi pada saat itu.  Sebagai sebuah kitab suci, Alquran mempunyai isi dan kandungan yang sangat sempurna. Materi yang terkandung di dalamnya meliputi berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan manusia dan hal-hal lain yang ada di alam semesta ini. Secara garis besar isi Alquran adalah: a) prinsip-prinsip aqidah, syariah dan akhlak, b) janji dan ancaman Allah Swt, c) kisah para nabi dan umat terdahulu, d) hal-hal yang akan terjadi di masa datang, e) prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, f) sunatullah atau hukum-hukum Allah yang mengikat pada ciptaannya.  Alquran diturunkan melewati dua periode, yakni periode sebelum Nabi hijrah ke Madinah dan periode setelah Nabi hijrah ke Madinah. Pembagian periode ini bukan sekedar memberi batas  antar Islam di Mekkah dan Islam di Madinah saja, melainkan  memberi pemaknaan bahwa Allah menurunkan ayat Alquran  supaya bisa dipahami oleh umatnya. Maka isi, gaya bahasa dan bentuk sapaanNya pun berbeda antara yang diperuntukkan masyarakat Mekkah dan Madinah.  

    c) Fungsi  Diturunkannya Alquran  
Dalam Alquran terdapat banyak ayat yang menjelaskan pentingnya fungsi Alquran bagi manusia. Fungsi-fungsi Alquran tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut (Sudrajat, 1998: 51):                        1. Hudan atau petunjuk bagi umat manusia (Q.S. Al-Baqarah, 2: 2).
 2. Rahmat atau kasih sayang Allah kepada umat manusia (Q.S. Luqman, 31: 2-3)
 3. Bayyinah, atau bukti penjelasan tentang suatu kebenaran (Q.S.Al-Baqarah, 2: 185) 
4. Furqan, pembeda antara yang haq dan yang batil, yang benar dan yang salah, yang halal dan yang haram (Q.S. Al-Baqarah, 2: 185) 
5. Mauizhah, pelajaran bagi manusia (Q.S. Yunus,10: 57) 
6. Syifa, obat untuk penyakit hati (Q.S. Yunus, 10: 57). 
7. Tibyan, penjelasan terhadap segala sesuatu yang disampaikan Allah (Q.S.An-Nahl, 16: 89) 
8. Busyra, kabar gembira bagi orang-orang yang berbuat baik (Q.S. An-Nahl, 16: 89) 
9. Tafshil, memberi penjelasan secara rinci (Q.S Yusuf, 12: 111) 
10. Hakim, sumber kebijaksanaan (Q.S. Luqman, 31: 2) 
11. Mushaddiq, membenarkan isi kitab-kitab yang datang sebelumya (Q.S.Al-Maidah, 5: 48) 
12. Muhaimin, penguji bagi kitab-kitab sebelumnya (Q.S.Al-Maidah,5: 48).  

    d) Pembukuan Alquran 
    Sejak Rasulullah saw wafat, secara otomatis proses transmisi pewahyuan terhenti. Rasulullah tidak menyampaikan pesan apa pun terkait dengan keberlangsungan ayat-ayat Alquran. Para sahabat yang pernah mendengar atau menghafal wahyu dari Nabi, tetap  melanjutkan dakwahnya sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi saw. Ayat-ayat Alquran berada dalam rekaman para sahabat baik berupa hafalan yang kuat maupun dalam tulisantulisan yang tersimpan di tempat yang terpisah-pisah. Ayat tersebut disampaikan dan disebarluaskan secara periwayatan oleh orang banyak, sehingga tidak mungkin bisa bersepakat untuk berbuat dusta. Bentuk periwayatan seperti inilah yang disebut mutawatir yang menghasilkan suatu kebenaran otentik (Khallaf, 1977: 49).  
    Kekhawatiran akan terputusnya generasi penghafal Alquran, sahabat Nabi,Umar bin Khattab mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar untuk melakukan pembukuan ayat-ayat Alquran. Mulanya Abu Bakar ragu mengingat Nabi saw tidak pernah menganjurkan pembukuan Alquran. Namun setelah melewati beberapa pertimbangan dan untuk keberlangsungan ajaran Islam, maka kodifikasi (pembukuan) Alquran mulai dilakukan. Pembukuan dilakukan dengan cara mencocokkan tulisan yang ada dengan hafalan para sahabat, sehingga kuat dugaan bahwa wahyu telah terekam semua dalam bentuk mushaf. Mushaf tersebut disimpan oleh Abu Bakar sampai beliau meninggal. Mushaf pindah ke tangan Umar bin Khattab dan disimpannya sampai beliau meninggal. Sepeninggal Umar, mushaf diserahkan kepada Hafsah binti Umar yang juga isteri Nabi saw. Terakhir, pada masa Khalifah Usman bin Affan, diadakan pen-tashhihan dan penggandaan mushaf. Mushaf tersebut disebut dengan mushaf Usmani. Hasil salinan dari mushaf Usmani tersebut kemudian dikirim ke kota-kota besar yang potensial bagi penyebaran Islam.  

C. HADIS

    a) Definisi dan Fungsi Hadis 
Hadis adalah penuturan sahabat tentang Rasulullah saw. baik mengenai perkataan, perbuatan, maupun persetujuan. Pengertian hadis sering diidentikkan dengan sunnah. Secara etimologis, kata sunnah berasal dari kata berbahasa Arab sunnah yang berarti cara, adat istiadat (kebiasaan), dan perjalanan hidup (sirah) yang tidak dibedakan antara yang baik dan yang buruk (al-Khathib, 1981: 17). Sunnah pada dasarnya berarti perilaku teladan dari seseorang. Dalam konteks hukum Islam, Sunnah merujuk kepada model perilaku Nabi Muhammad saw. Istilah lain yang sering muncul dalam pembahasan hadis adalah khabar dan atsar. Khabar adalah berita yang sumbernya berasal dari sahabat, sedangkan atsar adalah berita yang sumbernya dari tabi’in (Sodiqin, 2012: 76). Keberadaan Hadis tidak bisa lepas dari Alquran. Hadis mempunyai keterkaitan fungsi dengan Alquran. Para ulama, terutama ulama ushul (Khallaf, 1978: 39-40), membagi fungsi hadis terhadap Alquran adalah sebagai berikut:  
    1. Bayan Tafsir yaitu menjelaskan apa yang terkandung dalam Alquran. Penjelasan tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu:  
a. Bayan tafshil (memerinci yang mujmal) yaitu hadis berfungsi menjelaskan rincian  ketentuan Alquran yang singkat. Ayat yang mujmal kandungannya belum operasional, sehingga memerlukan petunjuk lain untuk menerapkannya. 
b. Bayan Taqyid, memberikan batasan bagi ketentuan Allah Swt. yang bersifat mutlak. 
c. Bayan Takhshish (mengkhususkan yang umum). 
    2. Bayan Taqrir, yaitu menguatkan apa yang terdapat dalam Alquran. Dalam hal ini hadis menjelaskan hukum yang sama sebagaimana dijelaskan dalam Alquran. 
    3. Bayan Tasyri’, dalam hal ini hadis menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Alquran. 
    
    b) Klasifikasi dan Pembukuan Hadis 
Hadis terdiri dari tiga unsur yaitu sanad, matan dan perawi. Tiga unsur tersebut sangat menentukan kwalitas dan klasifikasi pembagian hadis.  Klasifikasi hadis bisa ditinjau dari berbagai aspek, yaitu aspek bentuk, aspek banyaknya sanad atau perawi, aspek kualitas, dan aspek-aspek yang lain. Modul ini hanya akan menjelaskan klasifikasi hadis ditinjau dari ketiga aspek tersebut. 
    1. Dilihat dari segi bentuknya, sunnah terbagi menjadi tiga, yaitu:  a. Sunnah qauliyah, adalah ucapan Nabi saw. yang didengar oleh para sahabat dan disampaikan kepada orang lain. Contoh:  Nabi saw. bersabda: “Bahwasanya perbuatan-perbuatan itu tergantung kepada niat, dan setiap orang hanya akan memperoleh apa yang diniatkannya” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).  b. Sunnah fi’liyah adalah perbuatan Nabi saw. yang dilihat para sahabat kemudian disampaikan kepada orang lain dengan ucapan mereka. Contoh:  Sahabat Jarir berkata: “Konon Rasulullah saw. bersembahyang di atas kendaraan (dengan menghadap kiblat) menurut kendaraan itu menghadap. Apabila beliau hendak sembahyang fardu, beliau turun lalu menghadap kiblat” (H.R. al-Bukhari). c. Sunnah taqririyah adalah perbuatan sahabat atau ucapannya yang dilakukan di depan Nabi saw. yang dibiarkan begitu saja oleh Nabi, tanpa dilarang atau disuruh. Contohnya Nabi saw. pernah melihat seorang sahabat memakan daging dlab (sejenis biawak) di hadapannya. Nabi tidak memberi komentar tentang perbuatan sahabat tersebut. Jadi, setiap sahabat melakukan suatu perbuatan atau mengucapkan sesuatu di hadapan Nabi dan Nabi membiarkannya tanpa memberi komentar. Hal ini berarti mendapat pengakuan Nabi. 
    2. Dilihat dari segi jumlah sanad atau perawi yang terlibat dalam periwayatannya, hadis dibagi tiga macam, yaitu:  a. Hadis mutawatir adalah hadis yang disampaikan secara berkesinambungan yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk dusta. Para ulama sepakat untuk menjadikan semua hadis mutawatir sebagai hujjah dan harus dijadikan sumber hukum. Tingkat keotentikan hadis mutawatir merupakan tingkatan tertinggi dalam sunnah dan berada satu tingkat di bawah Alquran. b. Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat yang tidak mencapai batasan mutawatir dan menjadi mutawatir pada generasi setelah sahabat. Menurut Ibnu Hajar, hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan lebih dari dua perawi yang belum mencapai batasan mutawatir (al-Khathib, 1989: 302). Tingkat keotentikan hadis masyhur berada di bawah hadis mutawatir. c. Hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi, dua orang perawi, atau lebih yang tidak memenuhi persyaratan sunnah mutawatir. Hadis ahad harus diamalkan selama memenuhi persyaratan untuk diterima (al-Khathib, 1989: 302). Tingkat keotentikan hadis ahad berada di bawah hadis masyhur, atau berada pada tingkat yang paling bawah. 
    3. Ditinjau dari segi kualitasnya  hadis dibagi tiga, yaitu:   a. Hadis shahih adalah hadis yang memiliki lima persyaratan, yaitu, (1) sanadnya bersambung, (2) diriwayatkan oleh perawi yang adil (istiqamah agamanya, baik akhlaknya, dan terhindar dari kefasikan dan yang mengganggu kehormatannya), (3) perawinya dlabit (kuat hafalannya), (4) hadisnya tidak janggal, dan (5) hadisnya terhindar dari ‘illat (cacat) (al-Khathib, 1989: 305). Contoh hadis shahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kedua kitabnya Shahih alBukhari dan Shahih Muslim. b. Hadis hasan adalah hadis yang memiliki semua persyaratan hadis shahih, kecuali para perawinya, seluruhnya atau sebagiannya, kurang kuat hafalannya (al-Khathib, 1989: 332). Contoh hadis hasan ini bisa dilihat dalam kitab-kitab hadis yang ditulis al-Nasa’i, al-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad bin Hanbal. Kualitas hadis hasan ini di bawah hadis shahih, namun masih termasuk hadis yang maqbul (dapat diterima sebagai hujjah). c. Hadis dla’if adalah hadis yang tidak memiliki sifat-sifat untuk dapat diterima, atau hadis yang tidak memiliki sifat hadis shahih dan hasan (al-Khathib, 1989: 337). Fathurrahman (1985: 140) mendefinisikannya sebagai hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadis shahih dan hasan. Hadis dla’if tidak bisa dijadikan sebagai hujjah (mardud). Hadis ini banyak macamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan oleh banyak atau sedikitnya persyaratan hadis shahih atau hasan yang tidak terpenuhi. d. Hadis maudlu’ adalah hadis yang dinasabkan kepada Rasulullah saw. dengan cara dibuat-buat dan didustakan dari apa yang dikatakan, dikerjakan, dan ditetapkan beliau (al-Khathib, 1989: 415). Hadis maudlu’ ini sebenarnya bukan hadis, namun karena oleh pembuatnya dikatakan sebagai hadis maka hadis maudlu’ ini dikategorikan sebagai hadis. 

    c) Pembukuan Hadis 
     Pada masa Nabi saw masih hidup, pernah ada larangan menulis hadis. Pada masa itu, mayoritas umat Islam belum bisa menulis dan belum semua bisa membedakan mana Alquran dan mana sabda Nabi, sehingga ada kekhawatiran akan tercampur antar keduanya (Al-Khatib, 1981: 158). Begitu juga pada masa Khulafaur Rasyidin, penulisan hadis belum dilakukan karena dikhawatirkan akan mengganggu proses penulisan Alquran. Karakter yang menonjol pada masa ini adalah kuatnya komitmen para sahabat terhadap segala bentuk perintah Allah Swt dengan cara memelihara ayat-ayat Alquran dalam satu mushaf. Mereka tidak berani menulis hadis kecuali Alquran sudah terkumpul dan tidak mungkin tercampur dengan sesuatu yang lain selain Alquran (Nashir, 2013: 69). Sampai pada abad ke-2 H, metode periwayatan hadis yang dilakukan oleh para tabi’in dan tabi’it tabi’in masih sama seperti yang dipraktikkan oleh para sahabat, yaitu melalui hafalan yang disampaikan oleh beberapa ulama. Perbedaannya, pada masa ini, Alquran sudah terkumpul ke dalam satu mushaf. Namun, pengodifikasian hadis masih menemui banyak kendala. Baru pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah ke-7 dari dinasti Bani Umayyah Tahun 99 H), mulailah terbentuk Lembaga Kodifikasi Hadis (Al-Khatib, 1981: 172). Yang melatarbelakangi Khalifah Umar bin Abdul Aziz membukukan hadis adalah sebagai berikut: 
1. Banyak penghafal hadis yang meninggal dunia, baik karena sudah lanjut usia maupun gugur dalam peperangan. 
2. Alquran sudah berkembang begitu luas dalam masyarakat dan telah dikumpulkan menjadi mushaf, karenanya tidak perlu dikhawatirkan terjadinya percampuran antara Alquran dan hadis. 
3. Islam sudah melebarkan syiarnya melampaui Jazirah Arab, sementara hadis sangat diperlukan untuk menjelaskan ayat-ayat dalam Alquran (Al-Khatib, 1981: 185).  Pada Abad ke-3 H, masa Dinasti Abbasiyah, tepatnya masa pemerintahan AlMa’mun sampai Al-Muqtadir (201 H-300 H), mulai diadakan seleksi yang ketat terhadap hadis terutama dalam memisahkan dan mengumplkan hadis sesuai dengan statusnya. Pada masa tersebut, hadis shahih dengan hadis maudlu’ masih saling tercampur. Periode inilah masa yang dianggap paling sukses melakukan pembukuan hadis, terutama karena para ulama berhasil meretas hal-hal yang fundamental demi menjaga kredibilitas hadis, di antaranya (As-Suyuthi, 2002: 33): 
1. Memisahkan antara hadis-hadis Nabi dan perkataan yang bukan dari Nabi (yaitu fatwa sahabat dan tabiin), melalui kaidah-kaidah yang telah diterapkan.
 2. Mengadakan penyaringan ketat terhadap apa saja yang dianggap sebagai hadis Nabi, dengan meneliti matan dan sanadnya, sekalipun dalam peneitian selanjutnya masih ditemukan hadis dla’if yang terselip pada kitab-kitab yang sudah tersusun.  
    Perbedaan tersebut terjadi karena factor-faktor: a) perbedaan qaidah ushul, b) perbedaan dalam memahami dalil, c) perbedaan dalam menyikapi dalil yang bertentangan, dan d) perbedaan dalam menetapkan sumber hukum (Al-Bayanuni, 1994: 7). Perbedaan epistemologi tersebut tentunya berimplikasi pada perbedaan ekspresi dan praktik keagamaan setiap komunitas. Belum ditambah lagi dengan perbedaan konteks sosio budaya, politis dan geografis di saat pembacaan teks agama dilakukan.

D. IJITIHAD    

    a) Pengertian Ijitihad
Secara etimologis, kata ijtihad berasal dari kata ijtihada-yajtahidu yang berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga, baik fisik maupun pikiran. Makna ijtihad di sini hampir identik dengan makna jihad, hanya saja kata jihad lebih berkonotasi fisik, sementara ijtihad menggunakan akal (ra’yu). Adapun secara terminologis, ulama ushul mendefinisikan ijtihad sebagai mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara yang bersifat ‘amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam Alquran maupun sunnah (Khallaf, 1978: 216).

    b) Macam- macam Metode Penetapan dalam Berijtihad 
Metode ada dua yaitu metode yang disepakati oleh para jumhur ulama (fuqaha’ dan ushuliyyun), dan metode yang masih diperselisihkan di antara mereka. Metode yang disepakati (di Indonesia) adalah ijma’ dan qiyas, sedangkan metode yang masih diperselisihkan adalah istihsan, istishab, fatwa shahabi, maslahah mursalah, ‘urf dan saddudz dzari’ah.
    1.Ijma’ (consensus), mayoritas ulama mendefinisikannya sebagai kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa terhadap suatu hukum syara setelah wafatnya Rasulullah saw. Secara historis ijma merupakan suatu proses alamiah bagi penyelesaian persoalan melalui pembentukan pendapat mayoritas umat secara bertahap. Ijma bermula dari pendapat pribadi dan berpuncak pada penerimaan universal oleh ummat dalam jangka panjang (Sodiqin, 2012: 84). Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi ijma sebagai sumber hukum. Imam Syafi’i, Hanbali, dan Zakhiri berpendapat bahwa ijma’ hanya terjadi pada masa sahabat. Sementara Imam Malik menganggap bahwa praktik penduduk Madinah merupakan ijma’. Menurut kelompok Syi’ah, ijma’ adalah kesepakatan para anggota keluarga Rasul (ahlul bait) (Sodiqin, 2012: 84). Sedangkan ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal, mendefinisikan bahwa ijma’ adalah mufakat dari orang atau lembaga yang berwenang (ulil amri), dan dapat dibatalkan oleh generasi berikutnya. 
    2. Qiyas (analogical reasoning), adalah menganalogikan suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya dengan masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya karena adanya persamaan ‘illah. Menganalogikan adalah mempersamakan dua persoalan hukum sekaligus status hukum keduanya. Illat adalah sebab atau hikmah yang menjadi dasar penetapan hukum tersebut. Penggunaan metode ini harus memenuhi rukun rukun sebagai berikut.  1) Ashl (maqis ‘alaihi) yaitu masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya dalam nash Alquran maupun hadis. Contohnya adalah pengharaman minum khamr (Q.S. AnNisa’, 5: 90-91). 2)  Furu’ (maqis), yaitu masalah yang sedang dicari ketetapan hukumnya. Contohnya adalah narkoba. 3)  Hukum ashl, yaitu hukum masalah yang sudah ditetapkan oleh nash. Contohnya adalah hukum asal minum khamr adalah haram. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAB 15 ISLAM DAN WAWASAN KEINDONESIAAN

 BAB 15 ISLAM DAN WAWASAN KEINDONESIAAN A. ISLAM DAN KEINDONESIAAN -Memahami Istilah Islam Nusantara       Makna kata “nusantara”. Nusantara...