BAB 6 KONSEP AKHLAK DAN PENDIDDIKAN KARAKTER DALAM ISLAM
A. Pengertian akhlak dan Pendidikan karakter dalam Islam
# Kata akhlak yang berasal dari bahasa Arab al-akhlaq (yang berarti tabiat, perangai, dan kebiasaan) banyak ditemukan dalam hadis Nabi Muhammad saw. Salah satunya adalah:
Kata ‘akhlak’ yang berasal dari bahasa Arab al-akhlaq adalah bentuk jamak dari kata alkhuluq menurut Ibnu Mandzur (Yaljan, 2003: 33) berarti al-thabi’ah, artinya: tabiat, watak, pembawaan (Munawwir, 1997: 838) atau al-sajiyyah, artinya: tabiat, pembawaan, karakter (Munawwir, 1997: 613). Dari makna etimologis yang dijelaskan dalam kitab Lisan al-‘Arab karya Ibnu Mandzur, Yaljan menyimpulkan bahwa al-khuluq memiliki tiga makna, yaitu:
1) kata al-khuluq menunjuk pada sifat-sifat alami dalam penciptaan manusia yang fitri yaitu keadaan yang lurus dan teratur;
2) akhlak juga menunjuk pada sifat-sifat yang diupayakan dan terjadi seakan-akan tercipta bersamaan dengan wataknya;
3) akhlak memiliki dua sisi, sisi kejiwaan yang bersifat batin dan sisi perilaku yang bersifat lahir (Yaljan, 2003: 34).
# Adapun kata karakter (Inggris: character) secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan & Bohlin, 1999: 5). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols & Shadily, 1995: 214). Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik (Pusat Bahasa, 2008: 682). Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Dengan makna seperti itu berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri, karakteristik, atau sifat khas diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan bawaan sejak lahir (Koesoema, 2007:80).
Jadi, karakter terdiri dari tiga bagian pokok yang saling berhubungan, yaitu pengetahuan tentang moral, perasaan bermoral, dan perilaku bermoral. Berdasarkan pandangannya tersebut, Lickona menegaskan bahwa karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan (knowing the good), lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan (desiring the good), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (doing the good). Inilah tiga pilar karakter yang diharapkan menjadi kebiasaan (habits), yakni habits of the mind (kebiasaan dalam pikiran), habits of the heart (kebiasaan dalam hati), dan habits of action (kebiasaan dalam tindakan). Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills) (Lickona, 1991: 51).
Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Dengan demikian, pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral. Pendidikan karakter tidak bisa dibiarkan jalan begitu saja tanpa adanya upaya-upaya cerdas dari para pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan. Tanpa upaya-upaya cerdas, pendidikan karakter tidak akan menghasilkan manusia yang cerdas, yakni pandai sekaligus menggunakan kepandaiannya dalam rangka bersikap dan berperilaku baik (berkarakter mulia).
B. Ruang lingkup akhlak Islam
Dua Bentuk Akhlak dan Pendidikan Karakter Secara umum akhlak atau karakter dalam perspektif Islam dibagi menjadi dua, yaitu karakter mulia (al-akhlaq al-mahmudah) dan karakter tercela (al-akhlaq al-madzmumah). Karakter mulia harus diterapkan dalam kehidupan setiap muslim sehari-hari, sedang karakter tercela harus dijauhkan dari kehidupan setiap muslim. Jika dilihat dari ruang lingkupnya, akhlak atau karakter dalam Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu karakter terhadap Khaliq (Allah Swt.) dan karakter terhadap makhluq (makhluk/selain Allah Swt.). Akhlak terhadap makhluk bisa dirinci lagi menjadi beberapa macam, seperti karakter terhadap sesama manusia, karakter terhadap makhluk hidup selain manusia (seperti tumbuhan dan binatang), serta karakter terhadap benda mati (lingkungan alam).
Pada umumnya orang menilai bahwa akhlak dikonotasikan positif (akhlak mulia), begitu juga karakter. Padahal sebenarnya akhlak atau karakter bisa bernilai positif dan bisa bernilai negatif. Orang yang berakhlak atau berkarakter adalah orang yang benar-benar menunjukkan sikap dan perilaku positif (mulia) dan meninggalkan sikap dan perilaku negatif (tercela).
Dengan demikian, pendidikan karakter atau pendidikan akhlak adalah proses untuk mewujudkan sikap dan perilaku mulia pada diri seseorang sekaligus menjauhkannya dari sikap dan perilaku tercela. Alquran banyak mengaitkan karakter atau akhlak terhadap Allah dengan akhlak kepada Rasulullah. Jadi, seorang muslim yang berkarakter mulia kepada sesama manusia harus memulainya dengan bernkarakter mulia kepada Rasulullah. Sebelum seorang muslim mencintai sesamanya, bahkan terhadap dirinya, ia harus terlebih dahulu mencintai Allah dan Rasulullah. Kualitas cinta kepada sesama tidak boleh melebihi kualitas cinta kepada Allah dan Rasulullah (Q.S. At-Taubah, 9: 24). Karakter yang lain terhadap Rasulullah adalah taat kepadanya dan mengikuti sunnahnya (Q.S. An-Nisa’, 4: 59) serta mengucapkan shalawat dan salam kepadanya (Q.S. Al-Ahzab, 33: 56). Islam melarang mendustakan Rasulullah dan mengabaikan sunnah-sunnahnya.
C. Karakteristik akhlak Islam
Akhlak dalam Islam merujuk pada perilaku dan moralitas yang diatur oleh ajaran agama, mencakup hubungan antara manusia dengan Allah dan sesama manusia. Berikut adalah karakteristik utama akhlak dalam Islam:
1. Rabbaniyah
Akhlak dalam Islam bersumber dari wahyu Allah yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ini menunjukkan bahwa akhlak tidak hanya bersifat manusiawi, tetapi juga memiliki dimensi ilahi yang menuntun umat Islam untuk berperilaku sesuai dengan petunjuk-Nya. Sebagaimana firman Allah: "Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, Hikmah dan Kenabian, lalu ia berkata kepada manusia: Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan menyembah Allah. Tetapi (dia berkata): Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang Rabbani" (QS. Ali Imran: 79)
2. Insaniyah
Akhlak dalam Islam bersifat insaniyah, artinya akhlak tersebut sejalan dengan fitrah manusia yang cenderung kepada kebaikan dan kebenaran. Akhlak ini memenuhi kebutuhan moral dan etika setiap individu, mengarahkan mereka untuk berbuat baik dalam kehidupan sehari-hari.
3. Syumuliyah
Akhlak Islam bersifat syumuliyah atau universal, mencakup semua aspek kehidupan manusia. Hal ini berarti bahwa akhlak tidak terbatas pada ritual keagamaan saja, tetapi juga mencakup interaksi sosial, ekonomi, dan politik. Setiap tindakan baik yang dilakukan dengan niat ikhlas akan bernilai ibadah
4. Wasathiyah
Akhlak dalam Islam mengajarkan sikap pertengahan atau keseimbangan (wasathiyah). Ini berarti umat Islam diajarkan untuk tidak melampaui batas dalam segala hal, baik dalam hubungan dengan Allah maupun sesama manusia. Keseimbangan ini mencerminkan prinsip keadilan dan kesederhanaan dalam berperilaku.
5. Terpuji (Husnul Khuluq)
Islam mendorong umatnya untuk memiliki akhlak terpuji atau husnul khuluq, yang mencakup sifat-sifat seperti kejujuran, keadilan, kasih sayang, kesabaran, dan kerendahan hati. Sifat-sifat ini dianggap sebagai ciri-ciri seorang Muslim yang baik dan akan membawa keberkahan dalam hidupnya.
6. Adab dan Etika
Akhlak juga mencakup tata krama dan etika yang baik dalam interaksi sosial. Ini termasuk menghormati orang tua, memuliakan tetangga, serta menjaga sopan santun dalam berbicara dan bertindak. Akhlak yang baik akan menciptakan harmoni dalam masyarakat.
7. Kepedulian Sosial
Akhlak Islam mendorong kepedulian sosial terhadap sesama. Umat Islam diajarkan untuk memperhatikan kesejahteraan orang lain, membantu mereka yang membutuhkan, serta berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar.
D. Pola Pengembangan akhlak dan Pendidikan karakter dalam islam
# Pola Pengembangan Akhlak menurut Ulama Islam
Para ahli akhlak (etika) Islam memberikan wacana yang bervariasi dalam rangka pencapaian manusia paripurna (insan kamil) yang dipengaruhi oleh landasan teologis yang bervariasi pula. Majid Fakhry mengupas secara detail pemikiran para ahli etika Islam dengan mendasarkan pada karya-karya mereka yang monumental. Mereka adalah Hasan al-Basri, Ibnu Abi al-Dunya, Abu al-Hasan al-Mawardi, Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm, al-Raghib alAsfahani, Fakhr al-Din al-Razi, dan al-Ghazali (Fakhry, 1996). Di antara tokoh-tokoh etika tersebut yang idenya relevan dalam tulisan adalah alRaghib al-Asfahani dan al-Ghazali. Al-Asfahani menuangkan ide-ide penyucian jiwa (berkarakter mulia) bagi manusia dalam kitabnya yang diberi judul al-Dzari’ah ila Makarim alSyari’ah. Menurut al-Asfahani, landasan kemuliaan agama adalah kesucian jiwa yang dicapai melalui pendidikan dan melakukan kesederhanaan, kesabaran, dan keadilan.
Al-Asfahani juga menjelaskan hubungan yang erat antara aktivitas agama dengan karakter (akhlak). Hubungan keduanya, menurutnya, sangat organis. Menurutnya, ibadah merupakan prasarat bagi terwujudnya karakter mulia. Ia menegaskan, Tuhan tidak memerintahkan kewajiban beribadah kepada manusia demi keuntungan-Nya, karena Tuhan Maha Kaya, tetapi Tuhan memerintahkan kewajiban itu kepada manusia dengan tujuan membersihkan ketidaksucian dan penyakit-penyakit jiwa manusia, yang dengannya manusia akan mampu mencapai kehidupan abadi dan sejahtera di kemudian hari. Selanjutnya, al-Asfahani membagi kekuatan jiwa menjadi tiga macam, yaitu kekuatan kekuatan rasional, kekuatan seksual, dan kekuatan amarah. Menurutnya, kekuatan rasional bisa diperbaiki melalui pendidikan, sehingga memungkinkan untuk membedakan antara kebenaran dan kepalsuan baik dalam dimensi teoretis maupun praktis. Kekuatan seksual diperbaiki melalui kedermawanan dan kesabaran. Sedang kekuatan amarah (hamiyah) diperbaiki melalui penjinakan secara bertahap, sehingga jiwa benar-benar dapat dikendalikan dan keberanian dapat diperoleh.
Sedangkan itu, al-Ghazali menuangkan ide-ide perbaikan moral manusia melalui dua bukunya yang sangat terkenal, yaitu Mizan al-Amal (Kriteria Perbuatan) dan Ihya’ ‘Ulum alDin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama). Al-Ghazali menawarkan beberapa formula untuk bisa mencapai karakter mulia. AlGhazali membagi jiwa menjadi dua bagian, yaitu jiwa binatang dan jiwa manusia. Jiwa binatang memiliki kekuatan gerak, nafsu, dan persepsi; sedang jiwa manusia memiliki kekuatan untuk mengetahui dan berbuat atau kekuatan teoretis dan praktis.
Al-Ghazali menetapkan tiga tahapan dalam rangka pengendalian nafsu. Tahapan awal adalah ketika manusia ditundukkan oleh kekuatan nafsu, sehingga nafsu menjadi objek penyembahan atau Tuhan, seperti disebutkan dalam Alquran surat al-Furqan (25): 43. Di sinilah kebanyak orang berada. Tahapan kedua adalah ketika manusia tetap berperang melawan nafsu yang memungkinkan untuk kalah atau menang. ahapan terakhir adalah manusia yang mampu mengatasi nafsunya dan sekaligus menundukkannya. Ini adalah keberhasilan besar dan dengannya manusia akan merasakan kenikmatan yang hadir (al-na’im al-hadlir), kebebasan, dan terlepas dari nafsu (Fakhry, 1996: 131). Jadi, orientasi pencapaian karakter mulia dalam pandangan al-Ghazali banyak didasarkan pada proses pengendalian nafsu.
#Pola Pengembangan Akhlak menurut Ahli Etika
Jika dikaji dua pola pengembangan karakter yang ditawarkan oleh para tokoh etika Islam (akhlak) dan para tokoh sekular (filosof etika), terlihat jelas perbedaannya. Para tokoh Islam Islam mendasari pengembangan karakter manusia dengan fondasi teologis (akidah) yang benar, meskipun pemahaman teologi mereka berbeda-beda. Dengan fondasi teologis itulah mereka membangun ide bagaimana seharusnya manusia dapat mencapai kesempurnaan agamanya sehingga menjadi orang yang benar-benar berkarakter mulia. Sedang para tokoh etika (karakter sekuler) lebih menekankan para proses apa yang harus ditempuh oleh seseorang dalam rangka mencapai tujuan itu.
Proses ini sama sekali mengabaikan landasan teologi (akidah). Proses inilah yang sekarang banyak dikembangkan di lembaga-lembaga pendidikan baik formal, nonformal, maupun informal, karena hasilnya lebih mudah dan cepat terlihat. Namun, harus diakui ketiadaan fondasi teologis (akidah) tidak bisa menjamin untuk terwujudnya karakter mulia dalam diri seseorang yang sebenarnya, terutama dalam perspektif Islam. Karakter, dalam pandangan tokoh etika sekular, hanya terfokus pada hubungan manusia dengan sesamanya atau dengan alam sekitarnya, sementara dalam pandangan tokoh Islam, karakter harus dimulai dengan membangun hubungan yang baik dengan Allah dan Rasulullah, lalu berlanjut pada hubungan dengan sesamanya dan dengan lingkungannya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar